Kebebasan Beragama dan Pancasila: Kasus Pembatalan Jalsah Salanah

Oleh: Waleed Ahmad Loun*

Sumber Foto: Ahmadiyah.id

Peristiwa pembatalan Jalsah Salanah di Indonesia baru-baru ini menjadi sorotan, menyisakan luka mendalam bagi Komunitas Muslim Ahmadiyah. Hal ini mengingatkan kita pada syair penuh makna karya Qamar Jalalvi, seorang penyair Urdu. Qamar dengan sempurna menggambarkan penderitaan yang dirasakan oleh Komunitas Muslim Ahmadiyah di Indonesia:

“Wahai temanku, mari kita pergi ke tempat lain; kita tidak lagi memiliki  taman ini.

Jika hanya setangkai bunga, kami bisa menanggungnya, tetapi sekarang bahkan duri pun tak kita miliki haknya.”

“Ketika taman membutuhkan darah, yang pertama kali dikorbankan adalah leher kami.

Namun, penghuni taman tetap berkata kepada saya, ‘Taman ini milik kami, bukan milikmu.'”

Baris-baris ini mencerminkan rasa keterasingan dan ketidakadilan yang dihadapi oleh sebuah komunitas yang telah lama berkontribusi pada masyarakat Indonesia. Meskipun peran aktif mereka dalam kemerdekaan dan pembangunan Indonesia, Komunitas Muslim Ahmadiyah mendapati dirinya tertolak ditempat yang dulu mereka bantu rawat. Pembatalan Jalsa Salana, sebuah pertemuan tahunan, menjadi penanda  yang jelas tentang pengucilan ini.

Apa Itu Jalsah Salanah?

Jalsah Salanah adalah pertemuan tahunan yang diadakan oleh Komunitas Muslim Ahmadiyah, sebuah gerakan agama global. Acara ini adalah waktu untuk melakukan refleksi spiritual, mempererat persatuan di antara anggota komunitas, dan memperkuat iman. Ini adalah acara internal yang berfokus pada ceramah agama, diskusi, dan doa. Acara ini tidak bertujuan untuk mengajak orang masuk agama, melainkan merupakan pertemuan yang damai dan tertutup yang dimaksudkan untuk mempromosikan pertumbuhan spiritual dan solidaritas. Meskipun bersifat damai dan non-politik, Jalsa Salana telah menghadapi penolakan, terutama dari otoritas lokal di Indonesia, yang menyoroti kekhawatiran yang lebih luas tentang kebebasan beragama dan perlakuan terhadap komunitas minoritas di negara ini.

Kontradiksi dengan Pancasila

Pembatalan acara Jalsah Salanah oleh otoritas lokal merupakan kontradiksi yang jelas dengan prinsip dasar Pancasila, ideologi negara Indonesia. Pancasila, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, dirancang untuk mempromosikan persatuan, keadilan, dan kesetaraan bagi semua warga Indonesia, terlepas dari latar belakang agama atau budaya mereka. Namun, tindakan otoritas lokal mencerminkan penyimpangan yang mengkhawatirkan dari nilai-nilai dasar ini, terutama dalam hal pluralisme agama dan keadilan sosial, yang keduanya merupakan pokok ajaran dari filosofi nasional.

Prinsip-prinsip Pokok Pancasila

“Ketuhanan Yang Maha Esa”  sebagai sila pertama Pancasila dimaksudkan untuk menjamin hak setiap warga negara dalam mempraktikkan dan mengekspresikan keyakinan mereka. Ini adalah prinsip yang melampaui batasan agama individual, yang mengadvokasi rasa hormat dan toleransi universal terhadap semua keyakinan. Prinsip ini secara eksplisit melindungi hak-hak minoritas agama, seperti komunitas Ahmadiyah, dengan memastikan bahwa ibadah dan pertemuan mereka dilindungi oleh hukum. Namun, pembatalan Jalsa Salana menunjukkan interpretasi selektif dari prinsip ini, di mana hak-hak satu kelompok agama dirampas demi menjaga “kenyamanan” lokal.

“Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” menekankan pentingnya kesetaraan, keadilan, dan pengakuan atas martabat manusia. Dengan menolak komunitas Ahmadiyah untuk secara damai berkumpul dan menjalankan praktik agama mereka, otoritas lokal telah memberikan beban yang tidak semestinya pada kelompok minoritas. Ini menyoroti adanya kesenjangan yang mengkhawatirkan antara cita-cita Pancasila dan implementasinya.

Tantangan dalam Implementasi

Meskipun Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945 menjamin kebebasan beragama, otoritas lokal membenarkan pembatalan tersebut dengan dalih menjaga “kenyamanan.” Istilah ini menjadi masalah ketika digunakan untuk menekan ekspresi agama yang damai, terutama ketika bertentangan dengan hak konstitusional. Selain itu, pengaruh tekanan sosial dan interpretasi lokal tentang keharmonisan agama sering kali mengesampingkan jaminan nasional, menciptakan preseden berbahaya di mana keputusan daerah merongrong fondasi pluralistik Indonesia.

Perspektif terhadap Penolakan

Penentang komunitas Ahmadiyah sering kali mengutip perbedaan teologis atau kekhawatiran tentang keharmonisan sosial sebagai alasan untuk membatasi kegiatan mereka. Kritikus berpendapat bahwa acara seperti Jalsa Salana dapat memicu kerusuhan di daerah yang memiliki ketegangan agama yang tinggi. Meskipun kekhawatiran ini tidak bisa diabaikan, penekanan terhadap pertemuan yang damai menimbulkan pertanyaan: Bisakah keharmonisan tercapai dengan menyingkirkan minoritas? Persatuan sejati membutuhkan inklusi, dialog, dan saling menghormati, bukan penindasan terhadap perbedaan.

Konteks Lebih Luas tentang Kebebasan Beragama

Tantangan yang dihadapi oleh komunitas Ahmadiyah bukanlah hal yang terisolasi. Minoritas agama lainnya di Indonesia, seperti umat Kristen, Buddha, dan pemeluk agama adat, juga telah menghadapi hambatan dalam menjalankan agama mereka. Konteks yang lebih luas ini menyoroti masalah sistemik dalam menyeimbangkan pemerintahan daerah dengan jaminan kebebasan beragama konstitusional. Dengan adanya rentetan pengalaman dari kelompok minoritas ini, kita dapat mengungkapkan pola marginalisasi yang merongrong komitmen Indonesia terhadap dasar pluralisme negara.

Warisan Kontribusi

Peristiwa ini sangat mengecewakan mengingat peran historis komunitas Ahmadiyah dalam kemerdekaan dan pembangunan Indonesia yang didirikan di Indonesia pada tahun 1923. Komunitas ini secara aktif mendukung kedaulatan bangsa Indonesia. Pada tahun 1946, Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmood Ahmad, Khalifah kedua dari gerakan Ahmadiyah, mendorong komunitas Muslim global untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Tokoh-tokoh seperti Raden Muhyiddin, pemimpin pertama Jemaat Ahmadiyah Indonesia, mengorbankan hidup mereka demi kemerdekaan negara ini.

Selain peran sejarah mereka dalam kemerdekaan Indonesia, komunitas Ahmadiyah terus berkontribusi pada perkembangan budaya, intelektual, dan agama Indonesia. Advokasi mereka untuk toleransi agama dan penerjemahan teks-teks agama ke dalam bahasa Indonesia telah memperkaya keragaman intelektual negara ini. Tokoh-tokoh terkemuka seperti Syed Shah Muhammad Sahib dan Hafiz Qudratullah Sahib, yang merupakan misionaris Ahmadi, bekerja tanpa lelah untuk mempromosikan toleransi agama dan mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Upaya mereka mencerminkan komitmen terhadap persatuan dan keragaman yang mendasari nilai-nilai pembentukan bangsa ini.

Selain itu, W.R. Soepratman, komposer lagu kebangsaan “Indonesia Raya,” juga merupakan anggota komunitas Ahmadiyah. Kontribusinya terhadap identitas budaya dan persatuan Indonesia lebih menunjukkan dampak eksistensi komunitas Ahmadiyah terhadap semangat inklusivitas negara ini. Warisan Soepratman sebagai pahlawan nasional dan komitmennya yang mendalam terhadap kemerdekaan Indonesia merupakan bukti pengabdian komunitas tersebut terhadap cita-cita negara ini.

Paradoks Perlakuan Modern

Meskipun komunitas Ahmadiyah pernah menikmati kebebasan beragama, terutama pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pembatasan-pembatasan baru menunjukkan adanya tren marginalisasi yang dipengaruhi oleh tekanan sosial. Pergeseran ini menunjukkan kontradiksi yang mengkhawatirkan terhadap cita-cita inklusi dan keragaman yang mendasari negara ini. Jalsa Salana bukanlah acara publik yang bertujuan untuk mengajak orang masuk agama mereka, melainkan acara internal yang berfokus pada pertumbuhan spiritual. Mencegah kegiatan seperti ini melemahkan nilai-nilai inti Bhinneka Tunggal Ika dan jaminan konstitusional yang menjadikan Indonesia sebagai demokrasi pluralistik.

Langkah ke Depan

Peristiwa ini menggarisbawahi perlunya kohesi nasional dalam kebebasan beragama, di mana otoritas daerah diharapkan untuk bertanggung jawab pada prinsip Pancasila dan nilai-nilai konstitusional. Memperkuat perlindungan konstitusional, mendorong dialog antaragama, dan memperkuat prinsip-prinsip Pancasila di tingkat daerah sangat penting untuk memastikan bahwa acara seperti Jalsa Salana tidak hanya dilindungi, tetapi juga dirayakan sebagai simbol komitmen Indonesia terhadap persatuan dalam keragaman. Terdapat beberapa cara untuk mencegah kemunduran kebebasan beragama lebih lanjut, sebagai berikut:

  • Memperkuat Perlindungan Konstitusional: Memastikan bahwa regulasi daerah sejalan dengan komitmen kebebasan beragama dalam konstitusi negara.
  • Membuka Dialog: Melibatkan tokoh-tokoh masyarakat untuk mengatasi kesalahpahaman dan mendorong saling menghormati.
  • Mendidik Otoritas Daerah: Memperkuat prinsip-prinsip Pancasila untuk mencegah pembatasan sewenang-wenang terhadap komunitas minoritas.

Keteguhan komunitas Ahmadiyah dalam menghadapi diskriminasi menyoroti komitmen mereka yang teguh terhadap perdamaian dan dialog. Indonesia harus menghormati nilai-nilai dasarnya dengan melindungi hak-hak semua warganya, memastikan bahwa Jalsa Salana dan acara serupa diperingati sebagai simbol keragaman, bukan dibungkam oleh intoleransi. Hal ini tentu saja akan memperkuat demokrasi Indonesia dan menegaskan komitmennya terhadap persatuan dalam keberagaman.

*) Waleed Ahmad Loun adalah seorang Sarjana Islam dan pembelajar lintas budaya, juga Local Coordinator untuk Students for Liberty Indonesia sejak 2023. Saat ini, ia tengah menempuh pendidikan S1 Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dengan fokus menjadi penerjemah.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top