Merawat Keberagaman dan Sikap Kritis Melalui Acara Talkshow dan Buka Bersama, KUHP 2023: Interseksionalitas KBB, Seni dan Ruang Bersama

Minggu, 16 September 2025, Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) bersama Fatayat NU Kota Yogyakarta serta Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM menggelar acara talkshow dan buka bersama yang mengangkat tema tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tahun 2023 kaitannya dengan kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB), seni, dan ruang bersama yang berlangsung di Gedung PDHI Yogyakarta. Kegiatan ini menjadi pertemuan dan ruang diskusi untuk merayakan dan merawat keberagaman yang melibatkan pemerintah daerah, akademisi, masyarakat sipil, jurnalis, mahasiswa, penyandang disabilitas, penghayat kepercayaan, perempuan, seniman, komunitas lintas iman, serta kelompok akar rumput lainnya. Di samping itu, pameran karya oleh beberapa seniman juga digelar untuk turut memeriahkan acara.

Acara talkshow dan buka bersama dibuka dengan seremonial menorehkan warna ke sebuah kanvas yang dilakukan oleh Dr. Samsul Maarif selaku Direktur CRCS UGM, Bapak Hairus Salim selaku Direktur LKiS, dan Ibu Umu selaku Ketua Fatayat NU Kota Yogyakarta. Selain itu, Kyai Yazid Affandi, Ketua PCNU Kota Yogyakarta dalam sambutannya menegaskan bahwa acara seperti penting untuk memumpuk kebersamaan. “Ada satu ayat Alquran yang jadi basis gerakan penyatuan kita yakni salah satu ayat dimana dikatakan Gusti Allah mentakdirkan dunia ini dalam satu penciptaan yang plural dan ini seharusnya menjadi pupuk kebersamaan. Ketika kita mampu membangun kebersamaan itu maka akan ada kedamaian. Maka acara semacam ini patut untuk kita syukuri dan patut kita dukung.” ujarnya. Selama acara, penampilan berbagai pertunjukan seni seperti musik, tari, puisi, pantomime, stand up comedy, dan aksi teatrikal menyelingi sebelum dan sesudah sesi inti diskusi berlangsung.

Sesi diskusi diisi oleh berbagai tokoh dari berbagai elemen masyarakat. Terdapat lima narasumber utama sebagai pemantik diskusi yakni, Munir mewakili seniman jalanan, Budi Butong sebagai seniman penyandang disabilitas, Vina Rohmatul mewakili isu perempuan, Sukiratnasari sebagai pendamping hukum, dan yang terakhir Bapak Wawan Harwaman selaku Pemerintah Kota Yogyakarta. Awal diskusi dibuka dengan cerita pengalaman Munir mengenai upaya pembatasan ekspresi berkesenian dalam sejumlah pameran beberapa tahun ke belakang. “Indonesia ki lucu, disebut negara otoriter juga engga, tetapi pembatasan-pembatasan pada ekspresi keseniannya itu terus berjalan, bahkan jauh sebelum KUHP 2023 itu sudah terjadi.” ujar Munir. Sedangkan di sisi lain, Budi Butong menjelaskan perlunya negara untuk hadir dalam memberikan ruang dan fasilitas bagi pelaku seni disabilitas. “Saya berkeyakinan ketika diberikan ruang bersama akan memberikan hal positif bagi potensi teman-teman disabilitas.” ujar Budi.

Sementara dari sisi perempuan, Vina Rohmatul membeberkan berbagai persoalan terkait isu-isu perempuan. Dalam KUHP 2023 yang akan ada dilaksanakan bulan Januari 2026 tersebut, beberapa pasal berdampak langsung terhadap hak-hak perempuan, utamanya dalam aspek pembatasan kebebasan dan perlindungan terhadap perempuan. Ia mencoba menjelaskan dualisme regulasi antara UU TPKS dan KUHP mengakibatkan inkonsistensi pada putusan pengadilan sehingga perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual tidak akan mendapatkan keadilan. Hal tersebut juga diamini oleh Sukiratnasari, “Didalam KUHP ini, kita butuh penjelasan mengenai unsur-unsurnya supaya tidak multitafsir. Ada banyak kebaharuan tetapi juga banyak kekhawatiran yang kita jumpai di KUHP 2023.” Ujarnya.

Menanggapi sesi diskusi yang berlangsung, Wawan Harmawan selaku pemangku kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta menegaskan komitmennya mewujudkan kota yang inklusif. Salah satunya dengan berupaya memberikan ruang aman dan nyaman bagi semua masyarakat serta menjaga toleransi antar semua umat beragama dan keyakinan. Hal tersebut ia nyatakan juga dalam janji politiknya. “Dalam kampanye kami, kita akan membuka tempat untuk pertemuan di Balai Kota untuk bisa digunakan para disabilitas dan komunitas-komunitas yang lain.” ucapnya.

Acara talkshow kemudian ditutup dengan membagikan makanan untuk berbuka puasa. Pertemuan ini menjadi penting untuk semua kalangan dalam mewujudkan inklusivitas serta membangun jejaring solidaritas untuk mengawal kebebasan berekspresi, kebebasan beragama/berkeyakinan, perlindungan hak-hak perempuan dan kelompok minoritas lainnya di Kota Yogyakarta.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top