Sejak tahun 2001 Indonesia menerapkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Sebagai kata kunci, desentralisasi dan otonomi daerah harus disebut satu kesatuan. Jangan hanya disebut desentralisasi saja, karena ini selalu ada dalam pandangan kita. Yang ingin diubah dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tidak satu saja. Perubahan tata kelola pemerintahan yang sebelumnya sangat sentralistik menjadi desentralistik. Tidak hanya membuat Jakarta berkuasa, membuat daerah berkekuasaan besar dalam hal kekuasaan dan fiskal. Kalau hanya itu yang terjadi, maka itu hanya desentralisasi. Hanya memindahkan sentralisasi di pusat ke sentralisasi di tingkat daerah. Yang terjadi itu otonomi pemerintahan. Kalau seperti ini tidak banyak berubah dan tidak banyak manfaatnya untuk masyarakat.
Sebelumnya hanya satu sentralitas yaitu di pemerintahan pusat, sekarang ada 548 titik-titik sentral baru dalam bentuk 34 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Yang harus berubah dalam tata pemerintahan adalah perubahan terkait pembangunannya. Pembangunan di masa Orde Baru sangat didominasi negara, sehingga melahirkan istilah “negara pembangunan”, ke kesempatan terbuka bagi masyarakat. Bahwa desentralisasi dan otonomi daerah adalah struktur kesempatan baru bagi masyarakat yang sekarang menjadi pelaku penting, tadinya tidak menjadi bagian inti dari proses pengelolaan sektor publik sekarang menjadi bagian inti. Itu disebut otonomi masyarakat. Masyarakat mengurus dirinya sendiri. Ini disebut kemudian otonomi daerah. Masyarakat pelaku utama. Pengalaman di daerah masing-masing apakah kondisinya sudah seperti itu. Istilah-istilah penting seperti representasi dan partisipasi ternyata belum menjadi arus utama. Sektor publik, khususnya birokrasi masih menganggap penguasa dan sentral segalanya, kalau begini belum otonom secara konsep yang benar.
Di luar negeri yang disebut lokal otonomi adalah otonomi komunitas, bukan otonomi daerah dalam arti unit-unit birokrasi. Seolah-olah di kita otonomi pemerintahan daerah. UU kita sebenarnya salah ketika judulnya hanya UU tentang Pemerintahan Daerah. Di negara lain seperti di Filipina yang ada UU Otonomi Daerah, hubungan negara dan pasar, negara dan masyarakat sipil, serta masyarakat dan pasar.
Ketika terjadi perubahan dalam tata kelola pemerintahan dan tata kelola pembangunan, lalu apa peran Pemda? Kalau konsen pada otonomi daerah, peran Pemda adalah memfasilitasi hidup dan kegiatan masyarakat secara sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan lain sebagainya, melalui kerangka regulasi, penyelenggaraan pemerintahan, layanan publik, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat. Fungsi pemerintahan ada 4:
1. Membuat regulasi.
2. Melayani publik.
3. Melindungi masayrakat.
4. Menyelenggarakan pemerintahan.
Dalam tata kelola penting membangun ekosistem dan sistem integritas menjadi basis yaitu:
1. Teladan nilai-nilai kepemimpinan. Keteladanan pemimpin menjadi kunci. Tidak ada reformasi birokrasi kalau pemimpin bagus. Politik bagus maka sektor birokrasi ikut. Ketika pemimpin korup, tidak akan bisa bersih lingkungan birokrasi maupun politik. Ini dilema. Negara maju sudah tidak bicara pemimpin. Sistemnya sudah bagus. Cukup hadir dengan kualitas sedang cukup membantu. Indonesia masih sangat mengandalkan kekuatan individual atau personal. Butuh sosok pemimpin ideal. Pemimpin yang bagus lahir dari kebetulan, di Surabaya, Jakarta, Wonosobo. Dia tidak lahir dari desain sistem baik partai maupun birokrasi. Memang dia sudah bagus lebih dulu, lalu ke pemerintahan. Kita tidak punya sistem politik yang membentuk pemimpin inovatif. Partai banyak pragmatis, dari pada mengkaderkan orang yang bagus tetapi mencalonkan siapa yang sudah bagus.
2. Internalisasi nilai-nilai integritas, membentuk sistem nilai dan mempengaruhi mental model dan budaya kerja birokrasi.
3. Pengawasan administrasi. Tentu penting pengawasan administrasi, itulah ombudsman. Ombudsman merupakan lembaga negara yang tugasnya mengawasi sisi administrasi pemerintahan, khususnya penyelenggaraan publik.
4. Penegakan aturan/ hukum. Diawasi tidak cukup, ada hukum yang berlaku.
5. Pranata pendukung whistleblower system, platform digital, dan lain-lain. Kemudian kita mengenal e-government dan sebagainya.
Tanda hadir atau absennya negara adalah pelayanan publik. Rakyat tidak mau tahu dengan kita yang mungkin tiap malam lembur, pening. Yang mereka mau ketika mau akses pendidikan ada, adminduk ada, kesehatan ada profesional dan humanis. Itu yang diinginkan rakyat. Kesadaran ini penting. Kalau rakyat mengontrol itu adalah bagian hak mereka. Kecuali kalau kita mempersepsikan diri penguasa yang melayani kita sendiri. Itu konsep lama, tidak di masa sekarang. Maka pengawasan penting baik dari ombudsman, KPK, maupun pengawasan internal. Ombudsman menjadi perantara antara rakyat yang belum punya kesadaran secara politik untuk mengontrol negara, penguasa, pejabat dalam pelayanan publik.