“Warga hadir di TPS, tapi belum menjadi subjek politik yang kritis. Demokrasi kita masih berhenti di bilik suara, belum sampai ke ruang dialog,” Tri Noviana,
Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (Yayasan LKiS) meluncurkan hasil riset berjudul “Dinamika Narasi Politik dan Preferensi Pemilih: Analisis Partisipasi, Janji Kampanye, dan Strategi Komunikasi dalam Pilkada 2024” dengan studi kasus di Kabupaten Kulon Progo dan Kota Yogyakarta. Acara berlangsung pada Kamis, 30 Oktober 2025 secara hybrid, daring via zoom meeting dan channel Youtube Yayasan LKiS maupun luring yang bertempat di Ros In Hotel, Yogyakarta. Pertemuan ini luring dihadiri oleh perwakilan KPU dan Bawaslu kabupaten/kota, akademisi, media, dan jaringan masyarakat sipil lintas isu untuk mengungkap temuan kritis tentang dinamika warga yang berkembang dalam Pilkada 2024.
Riset ini dilatarbelakangi oleh tren penurunan angka partisipasi pada Pilkada Serentak 2024, secara nasional maupun di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Secara substansi, Yayasan LKiS menyoroti adanya kesenjangan antara janji kampanye paslon bupati/walikota dengan kebutuhan masyarakat, disebabkan minimnya keterlibatan publik dalam proses pencalonan. Temuan terbaru Yayasan LKiS menunjukkan bahwa demokrasi lokal di DIY—khususnya di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo—masih berada dalam fase transisi: dari demokrasi prosedural menuju demokrasi substansial.
Hasil survei dalam riset ini menunjukkan bahwa 96,23 persen warga Kabupaten Kulon Progo dan 94,34 persen warga Kota Yogyakarta menggunakan hak pilih mereka (masing-masing wilayah 106 responden). Namun, hanya sebagian kecil yang memilih berdasarkan pemahaman terhadap visi-misi calon kepala daerah. Mayoritas masih memilih karena faktor sosial, emosional, dan kultural—seperti kedekatan personal dengan kandidat atau solidaritas komunitas—bukan karena penilaian rasional terhadap program kerja. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi warga bukan didasarkan pada kesadaran kritis terhadap isu dan kebijakan publik. Kampanye politik masih berpusat pada pencitraan, bukan pertukaran gagasan. Sementara itu, pelanggaran seperti politik uang, kampanye terselubung, dan lemahnya penegakan aturan menunjukkan rapuhnya integritas demokrasi prosedural di tingkat lokal.
“Warga hadir di TPS, tapi belum menjadi subjek politik yang kritis. Demokrasi kita masih berhenti di bilik suara, belum sampai ke ruang dialog,” ujar Tri Noviana, Program Manajer Yayasan LKiS dalam pembukaan Bedah Riset.
Dua penanggap utama, Dr. phil. Ridho Al-Hamdi, MA (Dosen Fisipol UMY) dan Shinta Maharani (Jurnalis Tempo), memberikan analisis kritis terhadap temuan riset ini. Ridho Al-Hamdi menyampaikan bahwa riset Yayasan LKiS ini memperkuat temuan kuantitatif dari Freedom House bahwa demokrasi di Indonesia masih berada pada tahap semi-demokratis. “Sejak 2014, kondisinya memburuk dalam aspek kebebasan sipil—media seperti Tempo mendapat tekanan, masyarakat sipil yang kritis sering diserang—dan ruang kebebasan berekspresi semakin menyempit. Indonesia kini tampak semakin anti terhadap suara-suara kritis” ujarnya.
Sedangkan Shinta Maharani menyoroti isu pemilu/pilkada dengan sistem proporsional tertutup yang sedang mencuat. Sejumlah politisi komisi II DPR RI mengusulkan dan membahas revisi paket Undang-Undang Pemilu pada tahun 2026 dengan mengubah sistem pemilu/pilkada menjadi proporsional tertutup. Hal ini menunjukan indikasi kemerosotan demokrasi karena mereduksi suara rakyat. “Temuan riset ini menegaskan bahwa pilkada langsung adalah hal yang paling penting dan perlu terus dipertahankan karena pemilihan tertutup menyebabkan publik tidak bisa ikut mengawasi prosesnya.” tegasnya
Secara garis besar, keduanya menyoroti pentingnya memperkuat integritas demokrasi di tingkat lokal, termasuk penegakan aturan kepemiluan yang lebih tegas, pendidikan politik warga yang berkelanjutan, dan pembenahan komunikasi politik kandidat agar lebih transparan dan berbasis isu publik. Ruang Publik Yang Dangkal Penelitian ini menemukan bahwa forum publik seperti kampanye akbar, debat kandidat, dan sosialisasi masih bersifat satu arah. Warga lebih banyak menjadi penonton dari pada peserta aktif. Kampanye akbar justru lebih menyerupai panggung hiburan—dihiasi konser musik, jalan sehat, dan kegiatan sosial— dari pada arena pertukaran gagasan politik.
Di sisi lain, forum seperti “Mimbar Warga” dan “Pemimpin Mendengar” yang diinisiasi oleh masyarakat sipil dan kampus menjadi pengecualian positif. Dalam forum ini, warga dapat menyampaikan persoalan riil, seperti pengelolaan sampah, akses pendidikan gratis, ketenagakerjaan, perumahan perkotaan, hingga inklusivitas yang kemudian ditanggapi langsung oleh para kandidat maupun wali kota terpilih. “Demokrasi lokal di DIY berada pada tahap semi-responsif, karena telah muncul ruang-ruang alternatif bagi warga untuk menyuarakan aspirasi, namun ruang tersebut belum cukup kuat untuk memaksa pemerintah agar merespons secara nyata. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme seperti forum warga yang dapat memastikan pasangan calon memenuhi janji-janjinya setelah terpilih” kata salah satu peneliti Yayasan LKiS, Sana Ullaili.
Namun, Yayasan LKiS mencatat bahwa forum-forum deliberatif seperti ini belum terlembaga. Akibatnya, ruang dialog yang substansial ini hanya menjadi pengecualian yang kecil, sementara ruang publik yang dangkal dan seremonial tetap mendominasi landscape politik.
Pelanggaran Masih Terjadi, Akuntabilitas Lemah Dari sisi prosedural, penelitian juga menyoroti lemahnya penegakan hukum dalam pelanggaran Pilkada. Survei di Kabupaten Kulon Progo menunjukkan sebanyak 82,76 persen responden mengaku mengetahui adanya praktik politik uang, namun hanya 37.04 persen yang berani melapor ke pengawas pemilu, selebihnya menceritakan kepada tetangga, teman, maupun kerabat, sisanya mendiamkan saja, membuat story di media sosial, dan melapor ke partai politik. Sedangkan di Kota Yogyakarta, pola serupa juga terjadi, pelanggaran yang banyak ditemukan oleh warga adalah politik uang (59.26 persen). Respons warga terhadap temuan pelanggaran serupa dengan yang terjadi di Kabupaten Kulon Progo. Sebagian warga mengaku enggan melapor karena prosedur yang rumit dan minimnya perlindungan bagi pelapor. “Kita perlu memperkuat sistem pelaporan dan perlindungan untuk pelapor agar semua warga merasa safe ketika melaporkan pelanggaran” ungkap peneliti Yayasan LKiS, Sana Ullaili.
Di sisi lain, peraturan turunan Pilkada seperti PKPU dan Perbawaslu sering terbit mepet dengan hari pemungutan suara, membuat aparat penyelenggara di tingkat bawah kesulitan melakukan sosialisasi dan penegakan aturan.
Dari Demokrasi Prosedural ke Demokrasi Substantif Riset Yayasan Yayasan LKiS menyimpulkan, demokrasi lokal di DIY masih berada dalam fase transisi: dari demokrasi prosedural menuju demokrasi substantif. Angka partisipasi yang tinggi tidak serta-merta mencerminkan kualitas politik warga, sebab ruang dialog publik belum benar-benar hadir dan mekanisme penagihan janji politik belum tersedia. Maka dari itu, Yayasan LKiS mendorong lima langkah perbaikan demokrasi lokal:, yang dimulai dari memperkuat pendidikan politik warga yang berbasis isu nyata, menjadikan forum deliberatif sebagai bagian tetap dari siklus demokrasi, mendesain ulang kampanye dua arah yang mendorong dialog, menegakkan aturan kepemiluan secara konsisten dan transparan, sampai dengan membuka mekanisme akuntabilitas pasca-pilkada agar warga bisa menagih janji pemimpin.
“Demokrasi yang bermakna bukan hanya soal memilih pemimpin, tapi memastikan suara warga berpengaruh pada arah kebijakan,” tutup tim peneliti Yayasan LKiS.