
“Kami ingin memastikan bahwa demokrasi Indonesia dibangun dari suara warga, bukan hanya keputusan elit politik. Revisi UU Pemilu harus menjadi momentum memperkuat sistem politik yang adil, transparan, dan inklusif,” Sri Hidayati
Yogyakarta, 18 Oktober 2025 — Ratusan warga, akademisi, jurnalis, dan aktivis masyarakat sipil memadati Hotel Ros In Yogyakarta dalam Dialog Publik “Suara Warga: Menata Ulang Regulasi Pemilu yang Demokratis dan Inklusif”, yang diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) bersama jejaring masyarakat sipil Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Acara yang berlangsung pada Sabtu (18/10) ini menghadirkan tokoh-tokoh nasional, di antaranya Dr. H. Arsul Sani, S.H., M.Si., Pr.M. (Hakim Mahkamah Konstitusi) sebagai pembicara kunci, Muhammad Khozin, M.AP. (Anggota Komisi II DPR RI), Mochamad Afifudin (Ketua KPU RI), dan Rahmat Bagja, S.H., LL.M. (Ketua Bawaslu RI). orum juga menghadirkan Prof. Dr. Masduki, Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII), yang memberikan catatan penutup atas hasil dialog.
Lebih dari 200 peserta dari berbagai elemen — mulai dari akademisi, jurnalis, aktivis lintas isu, penyelenggara pemilu, hingga perwakilan komunitas — turut serta dalam forum ini. Mereka hadir untuk menyuarakan tujuh persoalan krusial kepemiluan yang diharapkan menjadi bahan dalam revisi Undang-Undang Pemilu pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Revisi UU Pemilu: Momentum Menata Ulang Demokrasi
Revisi UU Pemilu pasca terbitnya Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 disambut masyarakat sipil sebagai angin segar bagi perbaikan sistem politik. Namun, kalangan masyarakat sipil DIY menilai pembaruan regulasi tidak boleh dilakukan secara elitis dan tertutup, melainkan harus partisipatif dengan melibatkan publik secara langsung.
Tri Noviana, Manajer Program Yayasan LKiS, menegaskan pentingnya membuka ruang partisipasi warga dalam proses pembentukan undang-undang.
“Teman-teman masyarakat sipil sudah sejak lama mengkaji dan merumuskan analisis persoalan pemilu beserta rekomendasi revisi UU Pemilu. Kami mendorong agar revisi dilakukan secara terbuka dan partisipatif, karena UU ini akan menentukan arah demokrasi dan pembangunan bangsa,” ujar Novi.
Menurutnya, kesadaran warga kini berkembang: partisipasi bukan hanya berhenti di bilik suara, tetapi juga harus hadir dalam proses pembuatan kebijakan yang mempengaruhi hak politik rakyat.
Tujuh Masalah Krusial Pemilu
Dalam forum itu, jaringan masyarakat sipil DIY memaparkan tujuh isu krusial yang perlu mendapat perhatian dalam proses revisi UU Pemilu, yaitu; Pertama, Pendidikan Politik dan Demokrasi — Dorongan agar pendidikan politik dilakukan secara berkelanjutan, bukan sekadar menjelang pemilu. Kedua, Partisipasi Bermakna — Partisipasi warga tidak boleh dibatasi hanya saat pemungutan suara, tetapi harus hadir dalam seluruh tahapan pemilu. Ketiga, Inklusivitas dan Aksesibilitas — Prinsip “inklusif” perlu menjadi bagian dari prinsip utama penyelenggaraan pemilu untuk menjamin hak kelompok rentan dan disabilitas. Keempat, Data Pemilih dan Perlindungan Data Pribadi — Diperlukan transparansi dan sistem perlindungan data yang kuat sesuai amanat UU Perlindungan Data Pribadi. Kelima, Kampanye dan Dana Kampanye — Penguatan regulasi terhadap politik uang, ujaran kebencian, serta dorongan kampanye yang bersih dan ramah lingkungan. Keenam, Pemantauan dan Pengawasan Publik — Jaminan perlindungan hukum bagi pemantau independen dan pelapor pelanggaran pemilu; dan Ketujuh, Penguatan Kelembagaan Penyelenggara Pemilu — Penguatan peran dan kewenangan Bawaslu sebagai lembaga keadilan elektoral yang memiliki putusan final dan mengikat.
Ketujuh isu tersebut disusun melalui proses panjang diskusi publik, riset, dan pemantauan bersama jaringan masyarakat sipil DIY sejak pasca Pemilu 2024.
MK, DPR, dan KPU Apresiasi Suara Warga
Dalam keynote speech-nya, Hakim Mahkamah Konstitusi Arsul Sani menegaskan bahwa forum seperti ini adalah bagian penting dari meaningful public participation yang harus diperkuat dalam proses legislasi. “Urusan pemilu adalah isu yang paling sering diuji di Mahkamah Konstitusi. Itu artinya rakyat memberi perhatian besar pada kualitas demokrasi kita. Maka penting bagi semua pihak untuk menata ulang regulasi agar lebih adil dan proporsional,” ujar Arsul.
Ia juga menyinggung pentingnya pembaruan Undang-Undang Partai Politik bersamaan dengan revisi UU Pemilu agar demokrasi internal partai dan kaderisasi berjalan sehat. Dalam pidato kuncinya, Hakim Mahkamah Konstitusi Arsul Sani mengapresiasi inisiatif Yayasan LKiS dan masyarakat sipil Yogyakarta yang aktif menyuarakan perbaikan demokrasi. “Forum seperti ini adalah bentuk meaningful public participation yang sejalan dengan semangat konstitusi. Demokrasi tidak hanya milik lembaga negara, tetapi juga warga yang kritis dan peduli,” kata Arsul.
Dari sisi legislatif, Muhammad Khozin, Anggota Komisi II DPR RI, menyampaikan bahwa masukan masyarakat sipil menjadi penting dalam pembahasan revisi UU Pemilu yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2026. “DPR terbuka menerima masukan dari masyarakat sipil. Banyak isu yang diangkat warga hari ini relevan dengan agenda pembahasan kami, seperti penguatan kelembagaan penyelenggara dan perbaikan sistem pendidikan politik,” jelas Khozin.
Ia menambahkan, Komisi II akan meninjau ulang sejumlah pasal yang selama ini menimbulkan multitafsir, termasuk yang berkaitan dengan pelanggaran pemilu dan sengketa hasil.
Sementara itu, Ketua KPU RI Mochamad Afifudin menekankan pentingnya membangun regulasi pemilu yang adaptif terhadap dinamika sosial dan teknologi. “Kami menyambut baik gagasan warga. KPU juga tengah mengkaji peningkatan tata kelola data pemilih, transparansi kampanye digital, dan penguatan pendidikan pemilih muda,” ujar Afifudin.
Ia menegaskan, KPU berkomitmen menjaga proses penyelenggaraan pemilu yang berintegritas dan akuntabel serta mendorong kolaborasi dengan masyarakat sipil di setiap tahapan.
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja turut menegaskan pentingnya memperkuat fungsi pengawasan publik. “Demokrasi yang sehat lahir dari pengawasan yang partisipatif. Bawaslu siap bekerja sama dengan masyarakat sipil untuk memastikan keadilan elektoral benar-benar terwujud,” ujarnya.
Dari Yogyakarta untuk Indonesia
Sri Hidayati, Pjs. Direktur Yayasan LKiS, pada saat sambutannya menegaskan bahwa hasil forum ini telah ditulis menjadi policybrief dan saat acara ini akan disampaikan kepada DPR RI, KPU RI, Bawaslu RI, serta Kementerian Dalam Negeri sebagai masukan resmi dalam pembahasan revisi UU Pemilu yang telah masuk Prolegnas Prioritas 2026.
“Kami ingin memastikan bahwa demokrasi Indonesia dibangun dari suara warga, bukan hanya keputusan elit politik. Revisi UU Pemilu harus menjadi momentum memperkuat sistem politik yang adil, transparan, dan inklusif,” tegasnya.
Tri Noviana, Manajer Program LKiS, mengatakan revisi UU Pemilu harus dilakukan secara terbuka agar mencerminkan aspirasi masyarakat. “Kami telah mengumpulkan masukan warga sejak menjelang Pemilu 2024. Masyarakat sipil mendorong agar proses revisi dilakukan secara partisipatif dan transparan, bukan tertutup di ruang elit,” ujarnya.
Masih menurut Novi, kesadaran politik warga kini tumbuh: partisipasi tidak berhenti di bilik suara, tetapi juga dalam proses legislasi yang menentukan hak-hak politik rakyat.
