Oleh: Iman Amirullah*
Judul : Reopening Muslim Minds
Penulis : Mustafa Akyol
Penerbit : Mizan
Tebal : 394 halaman
ISBN : 978-623-242-339-8
Islam sebagai sebuah agama yang dimulai di tanah bangsa Arab pada abad ke-7, Islam telah mengalami berbagai macam dinamika sejak ia mulai diwahyukan. Dari ditolak dan dihinakan di awal kemunculannya, Islam berhasil menjadi sebuah imperium besar yang dikreditkan terhadap berbagai macam kemajuan dan pencerahan umat manusia. Kini, wajah Islam telah tercoreng. Berbagai macam aksi terorisme sejak awal abad ke-21 mengakibatkan Islam menjadi kambing hitam terhadap berbagai macam aksi teror. Islam juga dianggap mengalami kemunduran pesat di berbagai aspek dan mengakibatkan wacana Islam kini hanya terbatas pada romantisasi sejarah kemajuan Islam di masa lalu.
Wacana modernisasi Islam sejatinya telah banyak digaungkan sejak abad ke-20. Beberapa pemikir dan cendekiawan Islam seperti Wael Hallaq, Fazlur Rahman, Fatimah Mernissi, hingga Irshad Manji menjadi beberapa figur yang berada di garis depan wacana modernisasi Islam. Beberapa nama ini memiliki kegusaran yang sama, yaitu keinginan untuk menjawab pertanyaan “mengapa peradaban Islam justru mengalami kemunduran?” tanpa terjebak dalam romantisasi sejarah belaka.
Nama yang dapat penulis usulkan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah Mustafa Akyol. Akyol merupakan seorang cendekiawan, jurnalis, sekaligus aktivis Islam kelahiran Turki. Akyol banyak menulis artikel dan publikasi, serta menjadi author untuk beberapa buku yang relevan dengan modernisasi Islam seperti Islam Without Extremes (2011), The Islamic Jesus: How the King of the Jews Became a Prophet of the Muslims (2017), dan Reopening Muslim Minds (2021). Judul yang terakhir merupakan salah satu karya yang dirasakan penulis sebagai salah satu buku terpenting bagi umat Islam untuk dapat memahami kemunduran peradaban Islam secara runtut namun mudah dipahami.
Buku ini dibuka dengan cerita Akyol yang mengalami represi di Malaysia karena dianggap menyebarkan ajaran Islam yang “menyimpang.” Sebuah hal yang menyedihkan, ketika agama digunakan sebagai dalih untuk merepresi kebebasan berpikir dan berbicara. Sebuah bentuk nyata betapa mengerikannya ketika agama digunakan oleh negara sebagai alat represi. Usai cerita pengalaman pribadinya, Akyol menyambung bukunya dengan saduran mahakarya filsuf cum sastrawan Islam abad ke-12, Ibnu Tufail yang berjudul Hayy Ibn Yazhan.
Melalui buku ini, Akyol menjelaskan pentingnya peranan akal sebagai sarana mencapai kebenaran. Sebuah pemahaman penting yang selama ini terabaikan karena dianggap mengancam kedudukan penguasa Muslim. Akal dipandang sebagai ketidaksempurnaan sehingga harus dipinggirkan. Sebuah perdebatan panjang yang kemudian membelah Islam menjadi kelompok Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Asy’ariyah kemudian memenangkan perdebatan ini karena meminggirkan peranan akal dalam beragama, hal yang dipandang menguntungkan tirani penguasa menurut Akyol. Hal ini dibahas Akyol secara epic dalam bab kesembilan, “Mengapa Kita Benar-Benar Kehilangan Akal.”
Lebih dari setengah buku ini membahas sejarah perdebatan filosofis umat Islam abad pertengahan, dimana Islam mencapai abad kejayaannya hingga kemudian runtuh. Akyol menyoroti bagaimana teologi Mu’tazilah yang mengedepankan akal dalam memahami teks-teks keagamaan menjadi pintu pembuka bagi kemajuan peradaban Islam saat itu. Para cendekiawan dan masyarakat Islam membuka diri terhadap berbagai wacana yang lahir dari bangsa barat. Hal ini mengakibatkan masyarakat Islam terpengaruh dengan berbagai gagasan pembaharuan yang berperan penting dalam berbagai macam penemuan. Kemenangan Asy’ariyah kemudian dipandang Akyol sebagai tanda kemunduran peradaban Islam yang ditandai dengan pengharaman filsafat, ditebangnya rasa ingin tahu, serta hyperfocus pada seremonial keagamaan.
Hyperfocus ini misalnya ditandai pada obsesi terhadap fiqh atau hukum Islam. Hal ini mengakibatkan matinya rasa keingintahuan, bahkan keingintahuan dipandang sebagai dosa dan meragukan absoluditas Tuhan sang pencipta alam. Melalui buku ini, Akyol mengajak kita semua untuk melihat secara lebih dalam mengapa Islam pernah berjaya di masa lalu. Darisitu, kita dapat melakukan otokritik atas peradaban kita saat ini. Menemukan apa yang terjadi pada masa lalu, mengapa dapat terjadi, dan bagaimana kita dapat lepas dari kemandegan berfikir dan status quo yang dihadapi masyarakat Islam saat ini.
Reopening Muslim Minds mengajak kita untuk kembali kepada tiga pilar utama kemajuan Islam di masa lalu: nalar, kebebasan, dan toleransi. Dengan mengkombinasikan ketiga pilar tersebutlah peradaban Islam saat ini dapat melesat menuju masyarakat yang lebih toleran dan terbuka.
_________________________________________________________________________
(*) Iman Amirullah adalah Managing Editor Suara Kebebasan dan National Coordinator untuk Students For Liberty Indonesia 2024/2025. Saat ini, ia tengah menempuh pendidikan S1 Hubungan Internasional di Universitas AMIKOM Yogyakarta dengan fokus studi internasionalisasi gerakan sosial.
Leave a Reply