Ketiadaan Oposisi = Korupsi

with Tidak ada komentar

Oleh: Karunia Haganta*)

Perlu diakui bahwa dinamika politik di Indonesia lebih banyak terjadi di ranah informal ketimbang formal. Ini bisa dilihat dari tindak tanduk politikus, terutama dengan gaya populisnya, seperti menghimpun relawan, blusukan, pembagian sembako gratis, dan lain-lain. Cara-cara ini tidak dikenal dalam sistem politik formal serta sulit diukur akuntabilitas serta dampaknya sebagai program politik. Dalam konteks Pilkada, hal ini makin jadi terang benderang.

Pilkada dan Jaringan Informal
Akses untuk memobilisasi sumber daya adalah jantung politik informal. Dampaknya adalah pembatasan partisipasi politik hanya pada kelompok yang memiliki sumber daya, baik suara maupun dana. Mobilisasi sumber daya ini juga meliputi penggunaan anggaran negara dengan label kelompok maupun individu tertentu, seperti melalui pengerahan bantuan sosial (bansos).

Riset Dick & Mulholland (2010) menggambarkan karakteristik informalitas politik di Indonesia adalah “uang pelicin” (slush funds). Salah satu dampaknya adalah kebocoran dalam anggaran-anggaran pemerintah. Kebocoran ini mengalir dalam dana operasional lembaga, gaya hidup keluarga pejabat, maupun kegiatan amal pencitraan pejabat seperti pembentukan yayasan-yayasan.Pendanaan Pilkada, seperti pada hasil riset Mietzner (2010) banyak berasal dari jaringan informalitas ini. Hasilnya adalah ikatan patronase dengan para donatur yang umumnya merupakan kontraktor-kontraktor yang berkepentingan di daerah tersebut. Tidak mengherankan bahwa, seperti temuan JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) banyak relasi patronase ini melibatkan industri ekstraktif untuk memuluskan kepentingan bisnis, terutama perizinan. Konflik kepentingan ini bahkan banyak yang terjadi secara vulgar dalam bentuk kepemilikan saham maupun rangkap jabatan dalam pemerintah dan perusahaan.

Ketiadaan Oposisi Melahirkan Korupsi
Dengan jaringan kekuasaan informal minim transparansi dan tanggung jawab seperti ini, satu-satunya yang dapat diharapkan untuk menjaga akuntabilitas politik adalah kehadiran oposisi. Riset Berenschot (2018) menunjukkan bahwa informalitas politik dapat bermanfaat bagi masyarakat jika jaringan informal tersebut terfragmentasi dan saling bersaing. Makin tinggi fragmentasi dan persaingan ini, makin banyak manfaat yang diperoleh masyarakat. Penyebabnya sederhana, karena masyarakat memiliki banyak pilihan untuk mengakses sumber daya politik yang diperlukan.

Sayangnya, yang terjadi di Indonesia justru informalitas ini diperkuat dengan ketiadaan oposisi. Hal ini sebenarnya bisa ditelusuri dari doktrin politik masa Orde Baru, seperti depolitisasi dan familiisme. Warisan kedua doktrin adalah stigma negatif pada persaingan politik sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan Indonesia maupun Pancasila.

Dampaknya amat terasa dalam Pilkada. Riset Hadiz (2010) mengenai lokalisasi kekuasaan mengonfirmasi hal ini. Pemanfaatan politik informal seperti pengerahan preman dapat dilakukan secara vulgar. Kedekatan antara politikus lokal dengan kelompok pengusaha, khususnya industri ekstraktif, juga turut mewarnai kekisruhan Pilkada ini. Di tataran daerah, informalitas ini telah mencapai titik predatoris. Kesalahan terletak pada jejaring kekuasaan, bukan sekadar problem institusional.


Puncak penyatuan kekuatan elite politik ini menghasilkan oligarki. Di tataran pemerintah pusat, oligarki telah berhasil melemahkan KPK dan pemberantasan korupsi pada umumnya. Penindakan kasus korupsi menjadi bermuatan politis dan pihak yang ingin aman harus mendekati oligarki ini. Kampanye-kampanye Pilkada telah terang menunjukkan bahwa persaingan di tingkat lokal hanya menjadi versi bonsai pertarungan elite politik pusat.

Repolitisasi dan Pemberantasan Korupsi
Dengan kondisi demikian, krusial untuk menjadikan repolitisasi masyarakat, terutama melalui pendidikan-pendidikan politik, sebagai upaya pemberantasan korupsi. Stigma negatif terhadap persaingan politik perlu diubah. Persaingan politik adalah hal normal dalam politik dan tidak bertentangan dengan Pancasila maupun demokrasi Indonesia.

Mohammad Hatta, dalam pidatonya yang berjudul Lampau dan Datang (1956), menyebutkan lima anasir demokrasi Indonesia: rapat, mufakat, tolong menolong atau gotong royong, hak protes, dan hak menyingkirkan diri dari kekuasaan raja. Rapat dan mufakat perlu dilengkapi dengan hak protes sebagai upaya mengawal pelaksanaan pemerintahan, termasuk melalui persaingan politik. Korupsi juga perlu dilihat bukan sebagai problem moralitas semata. Ini karena moralitas rentan diperbandingkan dengan kebaikan individu yang dilakukan koruptor sebagai bagian dari politik informal di atas. Korupsi perlu dilihat sebagai problem ekonomi politik dan relasi kuasa dengan perhatian pada jaringan politik serta dorongan pada persaingan politik yang programatik, bukan populis.

___________________________________________________________________________

(*) Karunia Haganta, Peneliti Independen (Pemenang Call For Article Kluster Akademini IM ACA Batch II: Memerangi Korupsi Jelang Pilkada 2024)

Leave a Reply