Melawan Korupsi Tersistem: Ogah Kesengsem dengan ‘Program Balsem’

with Tidak ada komentar

Oleh: M. Khoirul Imamil M*)

Korupsi dari hari ke hari
Tak dapat dimungkiri, korupsi masih menjadi salah satu penyakit akut yang terus menggerogoti bangsa Indonesia. Hal ini terbukti dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia di tahun 2024 yang menurun ketimbang tahun sebelumnya. Penurunan itu mengakibatkan Indonesia terdampar di peringkat 115 dari 180 negara dengan skor 34. Di level Asia Tenggara (ASEAN), Indonesia menduduki peringkat kelima negara terkorup, jauh di bawah negara tetangga sekaliber Timor Leste, Vietnam, Thailand, Singapura, serta Malaysia. Menjadi tak mengherankan bila hingga awal Juli saja, KPK telah meringkus 100 ‘tikus negara’ selaku aktor dalam 93 kasus pidana korupsi. Gemuknya angka kasus pidana korupsi tersebut tidak menutup kemungkinan berakibat pada meningkatnya jumlah kerugian negara yang pada tahun 2023 lalu mencapai 56 triliun rupiah.

Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan korupsi? Merujuk pada kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), korupsi dimaknai sebagai tindakan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi maupun orang lain. Namun, dalam praktiknya, korupsi tak hanya melulu soal penyalahgunaan uang. Mengutip The Association of Certified Fraud Examiners (Singleton dan Singleton, 2010), konsep korupsi sejatinya adalah kecurangan (cheating). Lebih lanjut, Dobel (1978) seperti disebut M. Arshadi Ridho (2017) menyatakan bahwa korupsi merupakan representasi atas ketidakmampuan moral individu dalam membuat suatu komitmen wajar.

Berbicara tentang moralitas, catatan Meliana Destira (2019) menunjukkan bila makin hari moralitas generasi bangsa kian merosot. Beragam praktik anomali sosial dan penyimpangan-penyimpangan kian disikapi permisif oleh lingkungan. Sesederhana di sekolah, misalnya, penyalahgunaan waktu seperti membolos, datang terlambat, atau pemotongan uang kas kelas untuk keperluan pribadi dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Padahal, tindakan-tindakan amoral semacam ini merupakan akar tunggang perilaku koruptif. Tak heran, di kemudian hari, publik dihadapkan pada figur-figur calon pemimpin yang membawa DNA koruptif. DNA itu tumbuh sedari mereka mengenyam pendidikan di level terendah hingga perguruan tinggi. Berbekal modal retorika dan orasi yang memadai, para calon pemimpin tersebut dapat menyembunyikan DNA koruptifnya. Mirip seekor serigala yang menyamar dalam kawanan domba, bukan?

Kesengsem Program Balsem
Di dalam sebuah artikel berbahasa Jawa yang dimuat dalam majalah mingguan Panjebar Semangat, Dr. Suprawoto, M.Si., menyebut istilah ‘program balsem’ yang kerap menjadi jurus sapu jagad para calon pemimpin di Indonesia. ‘Program balsem’ yakni program kerja para kontestan Pemilu, baik di level pusat maupun daerah, yang menjanjikan bantuan-bantuan materi praktis yang manfaatnya hanya dapat dirasakan seketika, persis seperti kehangatan balsem yang tidak bertahan lama. Sebagai contoh, kita dapat mengamati pelaksanaan program bantuan langsung tunai (BLT) yang banyak dinilai mampu meringankan beban ekonomi rakyat. Dalam demografi masyarakat Indonesia yang memang mayoritas masih berada di kelas ekonomi menengah kebawah, gagasan ‘program balsem’ semacam BLT ini jelas mudah membuat masyarakat kesengsem. Para kontestan Pemilu tak ayal berlomba jor-joran menghadirkan ‘program-program balsem’ sejenis untuk menggaet ceruk voters.

‘Program balsem’ sejatinya memiliki konsekuensi berbahaya. Selain tidak menawarkan konsep jangka panjang yang berkelanjutan, ‘program balsem’ juga dapat menjadi media berkelindannya praktik-praktik korupsi. Transmisi bantuan untuk rakyat dalam bentuk materi, baik uang maupun barang, merupakan lahan empuk bagi para maling negara untuk beraksi. Didukung dengan panjangnya rantai birokrasi sekaligus minimnya transparansi, penyunatan demi penyunatan anggaran jelas mudah untuk dieksekusi. Publik tentu belum lupa dengan kasus yang menjerat eks-Menteri Sosial era awal pemerintahan Presiden Jokowi dulu, Juliari Peter Batubara. Batubara merupakan tersangka kasus bantuan sosial penanganan Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek. Dengan hanya menyunat anggaran perpaket bantuan sebesar sepuluh ribu rupiah (Rp10.000), sang menteri sukses mengembat uang rakyat yang tengah sekarat hingga sebesar 17 miliar rupiah.

Kita Bisa Menolak
Kini, menjelang perhelatan akbar pemilihan kepala daerah (Pilkada), publik semestinya punya cukup kedewasaan untuk berani menolak dan mengkritisi ‘program balsem’ yang digonggongkan para calon kepala daerah (cakada). Belum lama ini, dalam sebuah kampanyenya, salah seorang cakada di Purbalingga mengancam akan menarik bantuan sosial bagi warga yang tidak memilihnya. Sungguh sebuah ironi, tatkala ajang kampanye yang mestinya dimanfaatkan sebagai media sosialisasi dan edukasi kepada khalayak justru dijadikan sebagai wadah untuk menebar ancaman. Selain menunjukkan karakter adigang, adigung, dan adiguna, fenomena tersebut juga menggambarkan betapa akutnya penjara dependensi yang dihasilkan dari ‘program balsem’ bertitel bantuan sosial (bansos) tersebut.

Namun, penolakan yang kita kehendaki jelas tak akan terlaksana bila tanpa proses edukasi. Pendidikan politik akan pentingnya suara rakyat dalam Pilkada bagi kemajuan suatu daerah mesti tetap menggema. Terlebih, selain berhadapan dengan iming-iming ‘program balsem’, suara rakyat kecil juga masih sering mudah dibarter dengan sembako, kaos, atau amplop berisi selembar kertas bergambar Ir. Djuanda. Praktik money politic masih terus bergulir, melaju dari hulu ke hilir seolah disetir dan terkoordinir. Para cakada jelas enggan merelakan modal milyaran yang dikucurkan selama kampanye tak kembali. Buntutnya, korupsi tak pernah berhenti, sekadar bergeser dari instansi demi instansi.

Publik masih punya masa hingga November tiba. Lantas, apakah kiranya kita hanya akan diam dan berpangku tangan merelakan uang-uang kita diembat para pejabat? Rumput yang bergoyang pun tahu jawabannya.


Sleman, 29 Oktober 2024


*) M. Khoirul Imamil M adalah seorang warga Indonesia biasa. Lahir dan besar di Magelang, ia lalu bertualang menyusuri Jogja untuk mengeruk wedhi-wedhi pengetahuan. Ia kini aktif sebagai pengajar siswa-siswa tersisih di PKBM Surya Pandawa. Ia nyaman ber-email ria melalui alamat surel ibnuzaenuri992@gmail.com. Sosok yang gemar mengutip kata-kata Muhammad (570-632 M), “Maa ana bi qaari’.”

Leave a Reply