Kamis, 12 September 2024, Alumni Indonesia Memanggil Anti Corruption Academy (IM ACA) Batch II Kluster Akademisi bersama IM 57+ Institute berkolaborasi dengan Yayasan LKiS dan YPPM Maluku menyelenggarakan sebuah diskusi nasional yang bertajuk “Memerangi Korupsi Politik Transaksional Menjelang Pilkada 2024.” Acara yang diadakan secara daring via Zoom Meeting ini mengangkat refleksi dari tiga wilayah, yakni Papua, Maluku, dan Yogyakarta, dalam menghadapi tantangan korupsi politik menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak. Diskusi ini dimoderatori oleh Tri Noviana dari Yayasan LKiS, yang juga berfungsi sebagai platform untuk memperkuat kesadaran publik terhadap bahaya korupsi dalam proses demokrasi, khususnya dalam politik transaksional yang kerap kali terjadi di Indonesia.
Para pembicara dalam diskusi ini adalah para ahli dari berbagai daerah dan institusi, yang memberikan pandangan mereka mengenai tantangan yang dihadapi oleh sistem demokrasi kita saat ini. Naam Seknun dari YPPM Maluku menyoroti situasi di Maluku, di mana politik transaksional kerap menargetkan kelompok minoritas, termasuk kaum disabilitas, yang sering dijadikan objek untuk kepentingan politik. Naam menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan konsolidasi dan pengawasan ketat terhadap para pejabat publik di Maluku yang diduga terlibat dalam praktik politik transaksional. Di Ambon, beberapa pejabat pemerintahan daerah bahkan sudah mulai menjadi sorotan karena praktik semacam ini.
Selanjutnya, Elias H. Thesia dari Universitas Cendrawasih menjelaskan situasi di Papua, di mana pada Pilkada sebelumnya masih banyak sengketa yang berujung pada aduan ke Mahkamah Konstitusi. Ia mengulas mengenai sistem noken yang digunakan dalam pemilu di Jayapura, serta berbagai pelanggaran yang terjadi pada tahap pencalonan hingga kampanye. Menurut Elias, manipulasi daftar pemilih, keterlibatan langsung penyelenggara pemilu dalam kampanye, hingga politik uang menjadi masalah serius yang perlu diatasi.
Sementara itu, Ade Surya dari LKiS membahas kasus korupsi yang menjerat pejabat di Yogyakarta. Ia mengungkapkan bahwa pada periode 2017-2022, Wali Kota Yogyakarta terlibat dalam kasus korupsi yang akhirnya berujung pada hukuman penjara dan pencabutan hak politiknya. Lebih lanjut, Ade juga mengungkap adanya dugaan politik partisan oleh pejabat Yogyakarta yang saat ini menjabat dan tengah mengincar jabatan walikota pada Pilkada 2024 mendatang. Menurutnya, masyarakat sipil di Yogyakarta perlu terus mengawal proses ini karena dampak korupsi politik merusak kepercayaan publik, mengganggu pembangunan, dan memperburuk ketidakadilan sosial.
Egi Primayoga dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menutup diskusi dengan menjelaskan berbagai bentuk korupsi pemilu, mulai dari politik uang hingga manipulasi dana kampanye. Ia menyoroti bahwa praktik politik uang sudah menjadi hal biasa di Indonesia, dan sering kali terjadi dalam bentuk-bentuk transaksi antara kandidat dengan pemilih. Menurut Egi, meskipun ada laporan dana kampanye yang diwajibkan oleh KPU, sering kali laporan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, dan ini menjadi salah satu bentuk lain dari kecurangan politik.
Sedangkan Zaenur Rohman dari Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT UGM) menyoroti maraknya politik transaksional di Indonesia. Ia menegaskan bahwa motivasi utama para aktor politik melakukan transaksi adalah untuk keuntungan pribadi dan kelompok, dan fenomena ini sangat merugikan masyarakat. Ia juga mengajak masyarakat untuk tidak hanya menyalahkan warga yang terlibat, melainkan mendidik mereka agar berpikir kritis dan tidak terjebak dalam politik transaksional.
Diskusi ini memberikan wawasan mendalam tentang ancaman yang ditimbulkan oleh politik transaksional terhadap demokrasi di Indonesia, khususnya menjelang Pilkada 2024. Para peserta dan narasumber sepakat bahwa untuk memerangi korupsi, masyarakat perlu lebih kritis, terlibat aktif dalam pengawasan pemilu, dan mendorong penyelenggara pemilu untuk menjaga integritas serta tidak terlibat dalam politik transaksional.
Leave a Reply