Huru-hara perpolitikan nasional telah usai, kondisi lapangan Indonesia sedang dihadapkan jelang pilkada yang akan datang. Momentum yang menjadi pintu awal arah gerak pembangunan daerah yang baru. Mengemukanya aktor dari beragam latar mulai menjadi konsumsi wacana publik, seolah sebagai representasif yang dapat mewakili suara masyarakat. Di lain sisi, pranata politik, seperti halnya partai politik (parpol), sedang memetakan dan mencari kandidat yang pantas dibursakan jelang kontestasi pilkada November mendatang.
Dalam koridor demokrasi Indonesia, pilkada sering diidentikkan dengan perhelatan politik lima tahunan, selayaknya pemilihan nasional atau pun provinsi. Sebagian besar masyarakat seolah sebatas dijadikan objek pemenuhan suara kandidat yang terpampang. Tidak kalah juga, para petahana menyusun berbagai strategi untuk tetap memenangkan eksistensi pada pentas politik daerah lanjutan. Sayangnya, masih banyak celah dalam rangkaian agenda periodenya yang perlu dibenahi. Aras masyarakat misalnya, masih banyak persoalan yang menyangkut terkait disparitas kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan pendidikan, upah pekerja, kondisi kesehatan, impak kerusakan ekologis, dan berbagai kegentingan semacamnya.
Lantaskah pilkada mendatang justru semakin memperparah ataukah menuntaskan permasalahan masyarakat yang belum kunjung diselesaikan? Jelas tidak ada yang tahu, tergantung aktor yang memang memahami makna dari kepemimpinan selanjutnya.
Konteks perpolitikan daerah sudah seharusnya tidak hanya diartikan sebagai sirkulasi atau pergantian singgasana kepemimpinan. Kebakuan pengartian ini, akan mengikis esensi dari kosakata yang sering diperbincangkan, yakni demokrasi. Dalam hal ini, Aristoteles telah membentuk jantung tubuh demokrasi sebagai suatu sistem kekuasaan yang terbentuk untuk mengakomodasi berbagai kepentingan rakyat secara adil. Tentunya ada kondisi yang harus diperhatikan, yaitu relevansi konteks sosial, kultural, dan kesejarahan setiap bangsa. Pilkada, sewajarnya hanya sebagai ruang dalam memilih pintu yang terjawantahkan pada setiap kandidat yang bertarung. Mereka harus mengelaborasikan ide dengan komitmen untuk dapat menentaskan permasalahan masyarakat dan membangun khazanah potensi yang ada untuk menuju keterlebihbaikan yang partisipatif dan berkeadilan.
Lanskap pembangunan yang ada di daerah Indonesia, menurut kacamata Saya, masih banyak diisi dengan berbagai ketidakselarasan dengan tujuan demokrasi sendiri. Rancangan yang bertapak pada konteks kondisi kedaerahan masing-masing, setidaknya dapat membantu menemukenali makna demokrasi sebagai proses. Ya, Proses. Dalam karya bertopik Demokrasi yang dinarasikan oleh Ros Harrison (1993), terdapat tiga aspek fundamental yang memungkinkan terbentuknya iklim demokrasi. Pengetahuan menjadi krusial yang memungkinkan setiap kebijakan berdasar data rill dan penelitian yang tepat. Tidak hanya tepat, tetapi juga harus menimbang konteks sosial-kultural yang dapat dipertanggungjawabkan. Seiringan dengan pengetahuan, otonomi menjadi aspek yang menjamin kebebasan individu dan kelompok. Artinya, setiap rancangan skema pembangunan terdapat keterlibatan individu yang dapat mengonsolidasikan kepentingannya sebagai subyek dan kemaslahatan bersama. Terpenting lagi, ialah kesetaraan yang memberi ruang untuk setiap orang dengan latar yang beragam dapat menyuarakan haknya. Walaupun dalam keberjalanannya, aspek ini mengalami kontroversial dalam penginterpretasian.
Berlandas tiga aspek yang telah dipaparkan, pandangan birokratis semacam prioritasisasi kelompok pendukungnya seharusnya dikesampingkan. Gamblangnya, kekuasaan tetap harus memperhatikan semua individu sebagai subjek yang memiliki hak dalam bebas bersuara dan hidup sejahtera. Komitmen yang berlandas pada kesepakatan berbagai elemen; bersama, harus dilestarikan dan dibentuk untuk mengupayakan peningkatan pembangunan di berbagai lini yang partisipatif-inklusif serta tidak mendegradasi kearifan lokal sekitar.
Keterdudukan jawatan pada lingkar kekuasaan jika bukan memberikan kebermanfaatan Bersama, tidak cukup dikatakan telah merealisasikan demokrasi itu sendiri. Nyatanya, demokrasi tidak secara alami akan menuju tataran masyarakat demokratis. Tinjauan tiga fundamental yang digagaskan Horrison hanya akan menjadi teoritis semata, kecuali para aktor pemegang kekuasaan memang mendedikasikan dirinya untuk melayani masyarakat. Kepedulian yang tidak sebatas ketika titik awal meraup suara, lebih dari itu, proses panjang dalam kontinum agenda pembangunan daerah berbasis pengetahuan, inklusivitas, dan partisipatif yang berkelanjutan.
Oleh: Dewanta
REFERENSI
Reza A.A Wattimena. “Nilai-nilai Dasar Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis”. https://rumahfilsafat.com/2012/07/21/nilai-nilai-dasar-demokrasi-sebuah-telaah-filosofis/. Diakses pada 29 Juli 2024
Reza A.A Wattimena. “Demokrasi Menurut Aristoteles (Bagian 1)”. https://rumahfilsafat.com/2012/08/15/demokrasi-menurut-aristoteles-bagian-1/. Diakses pada 30 Juli 2024
Leave a Reply