Yogyakarta, 9 Agustus 2024 – Yayasan LKiS kembali menjadi tuan rumah untuk diskusi tentang masa depan demokrasi Indonesia melalui acara “(in) Opposition Series” yang bertajuk Nasib Demokrasi Indonesia Menjelang Kepemimpinan Baru. Diskusi yang diadakan di Pendopo Yayasan LKiS ini menghadirkan narasumber-narasumberyang dikenal akan kiprahnya dalam memperjuangkan keadilan sosial seperti Zainal Arifin Mochtar, Wasingatu Zakiyah, Muhamad Isnur, dan Siti Mauliani. Acara ini dimoderatori oleh Adi dari Lingkar Keadilan Ruang.
Dalam pembukaan diskusi, Zainal Arifin Mochtar, seorang pakar hukum dan aktivis, menyoroti fenomena politik dinasti yang semakin kuat di Indonesia. “Politik dinasti adalah jalan Ninjanya Jokowi untuk menguatkan otoritarianisme,” tegas Zainal. Ia menguraikan bahwa politik dinasti menjadi alat bagi para penguasa untuk mempertahankan kekuasaan dengan mengandalkan hubungan antara penguasa dan pengusaha yang semakin erat. Zainal mengkritisi lemahnya sistem pengawasan dan konflik kepentingan yang menyebabkan oligarki di Indonesia sulit untuk dikendalikan. Ia juga menekankan pentingnya reformasi dalam partai politik yang saat ini dinilai tidak memiliki ideologi yang kuat, sehingga sulit untuk membawa perubahan yang signifikan.
Zainal juga menambahkan bahwa kegagalan masyarakat sipil dalam mengawasi oligarkip telah berlangsung sejak masa reformasi, tepatnya sejak Agustus 1998. Ia mengingatkan bahwa konsolidasi oligarki sudah terjadi sejak saat itu, dan tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana masyarakat dapat mengupayakan perubahan di tengah-tengah dinamika politik yang semakin pragmatis dan oportunis.
Wasingatu Zakiyah, seorang akademisi dan aktivis perempuan, menyoroti peran desa-desa di Indonesia sebagai sumber harapan bagi perlawanan terhadap otoritarianisme. “Lilin akan menyala bukan dari Jakarta, tapi dari desa-desa,” ujarnya, mengutip kata-kata Muhammad Hatta. Zakiyah menggarisbawahi bahwa rakyat di pedesaan memiliki potensi besar untuk menjadi motor penggerak perubahan. Ia juga menyinggung bagaimana politik saat ini cenderung didominasi oleh kepentingan keluarga dan kelompok tertentu yang hidup dari APBN, yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Zakiyah juha menegaskan pentingnya pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat desa agar mereka dapat lebih kritis dalam memilih pemimpin yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat, bukan hanya sekadar perpanjangan tangan dari oligarki yang sudah mapan.
Muhamad Isnur, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), membahas tentang tantangan reformasi institusi negara dalam konteks pemerintahan yang baru. Ia menyampaikan bahwa reformasi dalam lembaga-lembaga negara seperti KPK, Ombudsman, dan Komnas HAM harus diperkuat untuk menjaga agar pemerintahan tetap melayani masyarakat dengan baik. Namun, ia juga menyoroti bagaimana elemen-elemen dalam masyarakat sipil, terutama LSM, semakin terpinggirkan dalam proses konsolidasi demokrasi ini. “Reformasi tidak hanya soal membangun institusi, tetapi juga soal mendidik masyarakat untuk tetap kritis dan aktif dalam mengawal jalannya pemerintahan,” ungkap Isnur.
Ia juga menyoroti bagaimana masyarakat sipil harus kembali fokus pada isu-isu krusial seperti reformasi kepolisian dan tentara, serta mendampingi kelompok-kelompok marginal seperti petani dan buruh dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Siti Mauliani, seorang aktivis mahasiswa memberikan perspektif dari gerakan mahasiswa yang saat ini menghadapi tantangan besar dalam menjaga api reformasi tetap menyala. Ia bercerita tentang bagaimana kampus-kampus yang dulu menjadi pusat perlawanan kini mulai kehilangan daya juangnya. “Dosen-dosen radikal yang dulu menjadi motor penggerak kini banyak yang terpaksa masuk ke dalam sistem, menjadi bagian dari administrasi kampus, dan kehilangan daya kritisnya,” kata Siti.
Ia mengajak mahasiswa untuk kembali ke akar gerakan, yaitu memperjuangkan isu-isu keadilan sosial di tengah masyarakat. Siti juga menekankan pentingnya kolaborasi antara mahasiswa dan masyarakat untuk menciptakan perubahan yang nyata, terutama menjelang pemilu dan pilkada yang akan datang.
Diskusi diakhiri dengan refleksi bersama mengenai nasib demokrasi Indonesia menjelang kepemimpinan baru. Para pembicara sepakat bahwa tantangan terbesar saat ini adalah menjaga agar demokrasi tetap hidup di tengah-tengah tekanan dari berbagai pihak yang ingin mengembalikan otoritarianisme dalam bentuk yang lebih halus. Mereka juga menekankan pentingnya peran masyarakat sipil, khususnya di tingkat desa, untuk menjadi benteng terakhir dalam mempertahankan nilai-nilai demokrasi.
Acara ini dihadiri oleh berbagai kalangan, mulai dari aktivis, akademisi, hingga masyarakat umum yang peduli terhadap masa depan demokrasi Indonesia. Diskusi yang berlangsung hangat ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan demokrasi di seluruh Indonesia untuk terus berjuang demi terciptanya pemerintahan yang lebih adil dan demokratis.
Leave a Reply