Deras perkembangan zaman memunculkan berbagai ide yang menuju pada ranah kemajuan. Langgam modernisasi seolah menjadi model baku dalam penerapan pembangunan daerah yang terbentang di Indonesia. Desa menjadi salah satu lokus yang terimbas dengan kontruksi wacana pertumbuhan ekonomi. Walaupun secara keberjalanan, berbagai instrumen regulasi dan political will mulai digaungkan. Hal ini, dapat terlihat pada aspek hukum, yaitu Undang-Undang no.6 Tahun 2014 tentang desa. Akan tetapi, persoalan hukum tidak cukup dapat menjamin arah gerak negara, alih-alih memajukan dan mengembangkan desa, ironisnya, nyaris sebagian besar desa mengalami dekadensi lokalitas dan keikutsertaan masyarakkat dalam pembangunan ekologisnya.
Di tengah dinamika pembangunan desa yang berjalanan, ada bilik paradigma yang sering dipinggirkan dari agenda pembangunan oleh negara atau pun pemerintahan desa itu sendiri. Partisipasi acap kali rumpang dari kaca mata pembangunan. Dengan latah, negara semena-mena melegitimasi beragamnya ruang untuk digeneralisir menjadi kepemilikannya; MILIK NEGARA. Tidak jauh beda, pemerintah desa yang seharusnya mewadahi berbagai kepentingan masyarakatnya, justru terperosot pada jurang hegemonik negara. Implikasi kentara dari terjalinnya fenomena ini akan mengikis makna pembangunan desa yang berbasis partisipasi elemen masyarakat setempat karena masyarakat di setiap daerah lah yang memahami kebutuhan sosial, ekonomi, budaya, serta ekologis di lingkungannya.
Selaras dengan pembangunan partisipasi, persoalan kalangan muda juga menjadi pembicaraan yang terangkum dalam skema Indonesia Emas. Gairah dan kreativitasnya diakusisi untuk mengisi energi menghadapi tantangan dinamika zaman. Terdapat permasalahan yang mungkin muncul ketika kelompok ini tidak dibarengi dengan pendidikan politik yang bernas. Selayaknya kumpulan domba yang diarahkan oleh pengembala dengan pola kompulsif.
Dewasa ini, pandangan awam acap kali memaknai dunia politik, penuh dengan keculasan maupun kebobrokan. Menjadi konsekuensi logis karena lanskap politik Indonesia disesaki berbagai fenomena semacam; korupsi, intimidasi, nepotisme, destruktivikasi, keterbatasan akses dan banyak tabiat negara yang terkesan angkuh mengimplementasikan kebijakan pada setiap daerah. Langgam modernisme menjadi dasar alasan berbagai proyek yang diterapkan. Ketidakpercayaan publik, terutama pemuda, menjadi poin krusial yang perlu disorot. Pasalnya, entitas inilah yang menjadi embrio penting untuk merawat kearifan ekologis-lokal dalam pembangunan bangsa.
Berhubungan dengan persoalan yang telah dipaparkan, entri politik perlu dimaknai kembali secara dasar. Mungkin pandangan Jurgen Habermas dapat menjadi alternatif yang mencoba merumuskan kecendurungan politik harus dapat menemukan titik konsolidasi antara kepentingan pribadi dan publik. Sebagai pengingat, politik tidak terlepas dari dialog kebudayaan masyarakat yang berlangsung secara resiprokal. Pada konteks ini, pendidikan mengambil bagian dalam proses candradimuka kehidupan masyarakat. Agaknya, perlu mendedah secara singkat makna dari pendidikan sebelum beranjak lebih jauh. Dengan menggunakan kacamata progresivisme, pendidikan menjadi wadah mengaktualisasi potensi setiap orang secara merdeka dalam merekontruksi budaya dan pengetahuan. Upaya demokratisasi menjadi jelas dalam konsep belajar ini untuk menyadarkan manusia yang bebas dan peka akan lingkungan sekitarnya (Dian P.P, dkk. 2023).
Konteks pembangunan desa sangat erat kaitannya dengan entitas pemuda yang ada di dalamnya. Kesadaran kolektif dalam membangun desa sudah tercuat dalam spirit undang-undang desa yang mengusahakan transisi skema masyarakat bukan lagi sebagai objek, melainkan sebagai subjek atas pembangunan desanya. Kegamangan mulai muncul ketika realitas lapangan berkata lain. Masih banyak para pemuda desa apatis terhadap kondisi masyarakat desanya, alhasil keterlibatannya kurang tersoroti. Tidak hanya itu, daya kreativitas yang menjadi tipikal kelompok ini kurang berkembang dalam melukis pembangunan desa. Masih kurangnya pengetahuan ekologis-kultural juga menjadi persoalan yang tak kalah krusial. Implikasi dari dari persoalan ini akan membuat pemuda desa menjadi inferior dan kurang bangga atas lokalitasnya. Padahal, Moh. Hatta telah menegaskan sejak beberapa dekade sebelumnya, dimana desa adalah lilin yang menerangi arah kemajuan bangsa.
Berbagai problematika yang menyerbak pada kesadaran pemuda desa, mengantarkan Saya untuk membicarakan tentang pendidikan politik. Hal ini, dapat menjadi langkah awal sebelum mengetuk pintu kompleksitas desa yang lain. Interpretasi pendidikan politik, tidak cukup diartikan sebagai pembekalan menghadapi kontestasi pemilihan calon kandidat pemimpin. Pandangan ini akan menyempitkan makna politik itu sendiri, yang seharusnya sebagai modal pengetahuan dan keberanian pemuda desa dalam mempertahakan, memperkuat, serta mengembangkan potensi ekologi-kultural lingkungannya ke arah demokratis yang lebih baik.
Sejauh pengalaman saya, karang taruna menjadi wadah nyata para pemuda desa dalam mengenal dan memahami kembali kebertubuhan mereka di desa. Gagasan pendidikan politik, berlatar pada analogi; keterlimpahan sumber daya alam yang ada di setiap daerah bumi Indonesia tidak dapat terbangun secara optimal dan demokratis jika tidak dibarengi sumber daya manusia yang berkualitas. Pada titik ini, kesadaran dan kapabilitas pemuda menjadi tapak awal pembanguan, sebelum menyentuh pada aspek fisik. Adanya ruang pendidikan politik pemuda desa juga dapat mengaktivasi kolektif yang ada di desa, seperti karang taruna, BumdesMa, serta kelompok kultural lainnya untuk saling berkolaborasi dalam membangun desa tanpa meninggalkan latar keaslian masing-masing.
Diskusi antarpemuda dengan lintas generasi dan aktor pemegang kebijakan akan menimbulkan kondisi perumusan kesepakatan bersama. Pengenalan analisis sosial untuk pemuda desa berperan dalam menghasilkan kacamata kritis dan komprehensif yang selaras dengan kearifan lokal desanya. Tidak hanya itu, jurnalisme dan pelatihan media online menjadi indikator penting unutk mendokumentasikan berbagai fenomena yang berkembang dan melatih kemampuan pemuda desa dalam bernarasi serta mendistribusikan pengalamannya secara sistematis dan kritis. Tidak luput, advokasi dan keorganisasian berperan dalam membentuk standing point kebertubuhan intelektual pemuda desa dalam melestarikan kearifan lokalnya.
Memang, setiap daerah dengan beragamnya corak kekayaan ekologis, budaya, dan sosial ekonomi memunculkan tantangan sendiri dalam menemukenali pembangunan yang sesuai dengan konteks lingkungan daerah masing-masing. Ketidaktepatan paradigma pembangunan desa akan bermuara pada hilangnya partisipasi dan kearifan lokal yang ada. Untuk menghindari dampak yang merugikan semacam ini, pendidikan politik pemuda desa dapat menjadi tawaran alternatif untuk membentuk kesadaran, keikutsertaan, dan keberanian dalam proses pembangunan masyarakat desa.
REFERENSI:
Sulistyaningsih, Dewi A. 2023. “Kajian Filsafat Progresivisme dalam Pendidikan”.
Tomi N.D. “Politik sebagai Dualitas Kepentingan: Tinjauan Filsafat Politik dari Plato hingga Habermas”.https://www.kompasiana.com/tominurdiyana/6559d15bedff7613dd265012/politik-sebagai-dualitas-kepentingan-tinjauan-filsafat-politik-dari-plato-hingga-habermas?page=2&page_images=1. Diakses pada 23 Juli 2024.
_________________________________________________________________________________________
Dewanta
(Pembelajar yang sedang bergiat dalam agenda kemajuan dan kelestarian lokalitas desa)
Leave a Reply