Hari ini, Kamis 14 Juni 2024, Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (DMKP UGM) mengadakan acara Ruang Diskusi Publik bertajuk “Langkah Kolaboratif dalam Menjaga Kelestarian Air di tengah Pengembangan Pariwisata di Kawasan Karst Kabupaten Gunungkidul”. Acara ini dilatarbelakangi oleh isu kawasan karst Gunungkidul yang mulai dikomersialisasi. Kawasan Karst Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu daerah yang kaya akan keanekaragaman hayati dan geologi. Namun, dengan potensi pariwisata yang tinggi, ada tantangan besar dalam menjaga kelestarian lingkungan, khususnya terkait ketersediaan air.
Acara ini dihadiri oleh DR. IR. Ammy Nurwati, M.M. (Direktur Bina Pengelolaan dan Pemulihan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHKRI), Antonius Hary Sukmono, S.T. (Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gunungkidul), Wahyu Suhendri (Lurah Kelurahan Ngestiharjo, Tanjungsari, Gunungkidul) Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul, Kepala Bappeda Kabupaten Gunungkidul, Bintang Hanggoro (Koalisi Masyarakat Peduli Pegunungan Sewu), Himawan Kurniadi (Lingkar Keadilan Ruang), Edi Supadmo (Komunitas Rosan Gunungkidul) dan Nandra Eko Nugroho, S.T., M.T. (Pusat Studi Karst UPN “Veteran” Yogyakarta)
Acara ini bertujuan untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana berbagai pihak bisa bekerja sama dalam menjaga kelestarian air di kawasan karst yang juga memiliki potensi besar dalam sektor pariwisata. Berikut beberapa poin penting yang dibahas:
Kebutuhan Perlindungan Alam dan Ekonomi
Bintang Hanggoro menekankan bahwa Gunungkidul adalah penghasil padi gogo terbaik di Indonesia, yang menunjukkan potensi ekonomi besar. Ia juga menyoroti bahwa kawasan ini seringkali dibiarkan terbelakang untuk mempertahankan kesan eksotis bagi para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Hanggoro juga mencatat bahwa meskipun Indonesia indah, tantangan alamnya juga nyata.
Tantangan Ketersediaan Air
Wahyu Suhendri selaku Lurah Kalurahan Ngestiharjo, menyampaikan bahwa di daerahnya, penggalian sumur hingga 100 meter seringkali tidak menghasilkan air. Namun, kunjungannya ke Kapanewon Baron pada bulan Mei lalu menunjukkan adanya debit air 20.000 liter per detik, yang merupakan tabungan air untuk Yogyakarta. Kekurangan air di Yogyakarta diatasi dengan bak penampungan air hujan yang telah disiapkan oleh masyarakat Gunungkidul.
Manajemen Karst dan Geopark
Nandra Eko Nugroho menjelaskan bahwa tanpa pengelolaan yang tepat, kawasan karst hanya memiliki nilai geologi tanpa ada nilai ekonomi. Ia menekankan bahwa Gunungkidul sebenarnya menyimpan cadangan air luar biasa di dalam karst, namun akses yang sulit menjadi kendala utama.
Pengawasan dan Pengelolaan Lingkungan
Edi Supadmo mengungkapkan bahwa kawasan karst membutuhkan pengawasan yang lebih ketat. Ia menyoroti pentingnya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan penerapan peraturan yang ketat. Pergeseran orientasi warga dari pertanian ke pariwisata juga menjadi perhatian, di mana pembangunan harus diimbangi dengan ketersediaan pangan, air, dan kelestarian alam.
Acara ini diharapkan dapat menjadi platform kolaboratif bagi berbagai pihak untuk bersama-sama mencari solusi terbaik dalam menjaga kelestarian air di tengah pengembangan pariwisata. Dengan keterlibatan pemerintah, NGO, akademisi, dan masyarakat, diharapkan Gunungkidul dapat mengembangkan potensi pariwisatanya tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan dan ketersediaan air bagi generasi mendatang.
Leave a Reply