Manusia mempunyai korelasi antara dirinya dengan alam, dalam konsep lain dikenal Hamblun Minal Alam (Hubungan manusia dengan alam). Dalam konteks ini manusia mempunyai tanggung jawab moral untuk tetap menjaga stabilitas dan kelestarian alam. Sebab saat ini bumi sedang mengalami yang namanya krisis ekologi yang sangat berdampak terhadap keberlangsungan kehidupan umat manusia yang di masa akan datang.
Namun acapkali kesewenang-kewenangan manusia membuat lupa akan tanggung jawab sebenarnya di muka bumi, dan hanya mementingkan kepentingan yang berjangka pendek. Salah satunya menebang pohon secara liar, membuang sampah sembarangan, bahkan pengrusakan alam dilaut maupun didarat.
Seharusnya sebagai orang yang taat beragama, wabil khusus didalam Islam. Menjaga lingkungan menjadi bagian suatu perintah yang harus ditaati. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman; “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk Mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukaikebinasaan,”. (QS. Al-Baqarah ayat 205).
Maka dari itu, kita harus merasa malu sebagai orang yang beriman. Karena ayat tersebut menjadikan cambukan terhadap kita, untuk lebih lagi membuka kesadaran akan pentingnya menjaga alam. Artinya tidak mengambil sikap ceroboh dengan membuat pengrusakan lingkungan atau perindustrian yang tidak memperdulikan dampak setelahnya.
Sebagain perusahan mengatakan bahwa industri yang mereka jalankan menjadi target dalam memperluas lapangan pekerjaan. Kayaknya menurut hemat saya, itu harus dipertimbangkan kembali. Jangankan memperluas pekerjaan, justru hanya malah manjadi pemanis diawal saja, yakni untuk dapat menjebolkan sebuah agenda-agenda kepentingan sepihak tanpa melihat dampak diakhir nanti.
Diakui atau tidak memang benar kegiatan industri dari sisi positif mungkin dapat membuka lapangan pekerjaan. Akan tetapi, sering kali dampak negatifnya lebih mendominasi, seperti halnya pencemaran lingkungan dan pencemaran udara. Kerusakan tersebut kerap terjadi dilaut dan di darat. Dilaut bisa saja adanya zat-zat kimia atau kotoran pabrik yang dialirkan ke laut, sedangkan di darat bisa saja mendatangkan kebanjiran dan bahkan membahayakan kesuburan tanah.
Akibat kecerobohan tersebut, mengakibatkan dampak yang cukup parah terhadap kondisi alam di Indoensia. Kalau dilihat berdasarkan data yang dirilis katadata.co.id, tercatat Sepanjang 2021 terhitung mulai 1 Januari hingga 28 Desember 2021, bencana alam yang terjadi di Indonesia mencapai 3.058 kejadian. Dari banjir, tanah longsor, hingga kebakaran hutan.
Perlu kedepanya kita mewaspadai, didalam lonjakan bencana alam yang terjadi bahwa tidak semerta-merta karena kehendak alam. Justru terjadi akibat imbas dari ulah manusia itu sendiri, atas tidak kepeduliannya terhadap lingkungan. Tapi seringkali manusia merusak alam hanya kepentingan materil, seperti kegiatan industri dan penebangan hutan secara liar hanya karena kebutuhan pasar.
Bisa kita lihat di salah satu wilayah di Indonesia yang saat ini terancam kondisi alamnya, ialah kalimatan. karena adanya perusahan industri yang tak peduli keberadaan lingkungan disekitarnya, dan saat ini cukup mengkhawatirkan keberadaannya. Jika tidak ada penyisiran kerja industri seperti itu, justru nantinya akan mengakibatkan yang tidak harusnya terjadi, sebagaimana saya sampaikan tadi.
Berdasarkan catatan Walhi.or.id, Kalimantan Selatan tercatat dari 3,7 juta hektar luas wilayah Kalimantan Selatan, hampir 50 persen merupakan lahan tambang dan perkebunan sawit. hal itu setiap tahun biasanya mengalami pertambahan di sekitaran wilayah tersebut.
Hal itu bukan menjadi Sebuah rahasia umum, sebab sedari dulu wilayah tersebut dikenal surganya para pebisnis tambang emas hitam. Tercatat 157 perusahaan tambang batubara di Kalimantan Selatan dengan 814 lubang tambang. Hingga saat ini Hutan di Kalimantan Selatan terus mengalami penyusutan dari waktu ke waktu, daya dukung dan tampung lingkungan hidup terus meningkat dan berakhir pada ancaman bencana ekologi.
Mencegah dan menjaga kelestarian alam tidak cukup hanya dengan kesadaran secara personal, melainkan pemerintah harus membuat regulasi yang mempunyai atensi tersendiri terhadap kondisi lingkungan di Indonesia. Karena krisis ekologi tidak disebabkan oleh kegiatan individu, akan tetapi oleh kelompok atau lembaga tertentu yang hendak memikirkan urusan bisnis belaka, tanpa peduli dampak dari kegiatan perindustrian yang dibuatnya.
Pemerintah disini tidak hanya terfokus pada eksekutif (Presiden). Namun perlu semua elemen pemerintah. Pertama, Majlis Ulama Indoensia ( MUI) yang membidangi dibagian kejian keislaman, seharusnya membuat ijtihad yang berupa fatwa yang erat hubungannya dengan pentingya menjaga alam. Seperti dilarangnya industri yang tidak memperdulikan dampak alam dilaut maupun di darat.
Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) harus mampu membuat regulasi yang relevan. Yakni dengan melarang adanya perindustrian tertentu yang mengakibatkan kerusakan alam, sebagaimana yang Sudah terjadi di Kalimantan Selatan. Juga memberikan sanksi tegas terhadap pelaku industri yang melanggar atas regulasi yang ada, sebagi efek jera dan tidak dapat mengulangnya lagi. Artinya DPR RI disini harus benar-benar mempunyai sikap tegas dan serius terhadap ancaman krisis ekologi di Indonesia dengan membuatkan UU khusus bagi penanganan lingkungan.
Ketiga, adanya frekuensi yang sama antara pemerintah pusat sampai ke daerah, dari tingkat Pemerintah Provinsi (Pemrov), Kota, hingga Kecamatan. Ialah dengan mengambil langkah yang cukup signifikan agar kemudian langkah diawal dapat terealisasikan. Sebab regulasi yang dibuat tidak cukup hanya dipangpang begitu saja dan ditulis hitam diatas putih dan selesai di meja paripurna. Akan tetapi perlu jelas realisasinya saat dilapangan. Maka perlu adanya sinergitas dari berbagai pihak terutama pemerintah dan masyarakat di berbagai kelas sosial.
Sekali lagi, kelestarian lingkungan hanya akan bisa dijaga dengan kesadaran dan kepedulian terhadap alam. Artinya regulasi hanya bagian kecil dadi pendukung bagi kita, sebagaimana negara yang berlandaskan hukum. Percuma ada regulasi, jika kesadaran itu tidak lahir dari diri Kita untuk bisa patuh dan mentaatinya.
*) Artikel ini ditulis oleh Moh. Kholilur Rahman untuk seleksi peserta Forum Remaja Nasional II
Leave a Reply