INDONESIA DARURAT IKLIM: BAGAIMANA NASIB PEREMPUAN?

with Tidak ada komentar

Perempuan mewakili sebagian besar masyarakat miskin yang sangat bergantung pada sumber daya alam lokal untuk penghidupan mereka, khususnya di daerah pedesaan dimana mereka memikul tanggung jawab besar atas pasokan air dan energi rumah tangga untuk memasak dan memanaskan, serta ketahanan pangan. Akan tetapi keterbatasan akses dan kendali terhadap barang dan jasa lingkungan hidup kerap dialami perempuan. Selain itu, partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan sangat kecil, dan tidak dilibatkan dalam distribusi manfaat pengelolaan lingkungan. Akibatnya, perempuan kurang mampu menghadapi perubahan iklim. Saat cuaca ekstrem seperti kekeringan dan banjir, perempuan cenderung bekerja lebih banyak untuk menjamin penghidupan rumah tangga. Hal ini akan memberikan lebih sedikit waktu bagi perempuan untuk mengakses pelatihan dan pendidikan, mengembangkan keterampilan atau memperoleh penghasilan. Di Indonesia, norma sosial budaya dan tanggung jawab pengasuhan anak menghalangi perempuan untuk mencari perlindungan di tempat lain atau bekerja ketika terjadi bencana. Situasi seperti ini kemungkinan besar akan memberikan beban lebih besar pada perempuan, seperti harus menempuh perjalanan lebih jauh untuk mendapatkan air minum dan
kebutuhan pokok lainnya.

Perempuan dan Kerusakan Iklim di Indonesia
Indonesia termasuk negara yang rentan terhadap perubahan iklim. Sejak tahun 1900, Indonesia telah mengalami peningkatan suhu sebesar 0,3°C dan penurunan curah hujan tahunan dua sampai dengan tiga persen selama seratus tahun terakhir. Perubahan kondisi curah hujan tersebut dapat memberikan dampak yang negatif terhadap produksi pertanian dan perikanan di Indonesia dan pada akhirnya mengancam stabilitas keamanan pangan nasional. Mayoritas penduduk di Indonesia yang mempunyai sumber mata pencaharian di bidang pertanian dan perikanan yang sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca, terutama sektor-sektor tersebut diperankan oleh perempuan. Akibatnya mereka sangat rentan terhadap perubahan iklim yang diperkirakan akan semakin ekstrim dalam beberapa tahun ke depan. Kondisi ini dapat berdampak terhadap pendapatan rumah tangga dan pada akhirnya mempengaruhi kondisi ketahanan ekonomi rumah tangga mereka.
Hubungan gender antar subjek dan aktor dalam pertanian tidaklah terjadi begitu saja, hubungan-hubungan aktivitas dan praktik-praktik empirik yang terjadi berulang kali dalam kehidupan bersosial dan bermasyarakat petani hingga pada akhirnya saling mempengaruhi posisi atau peran antara perempuan petani dan laki-laki. Hal tersebut akan ditentukan dengan
pola relasi (termasuk jenis relasi kuasa), budaya, dan struktur masyarakat hingga diperoleh keluaran siapa yang lebih rentan dan dirugikan atas terjadinya fenomena krisis iklim.

Pengaruh dari kerusakan iklim tidak hanya dirasakan oleh kelompok perempuan rumah tangga/masyarakat miskin, namun hal ini turut membawa ancaman khusus terhadap ketahanan hidup perempuan dengan peran apapun, baik muda hingga tua, dari perempuan masyarakat adat, pedesaan hingga urban. Pengalaman perempuan dari rumah tangga petani maupun nelayan miskin memberikan gambaran tentang beratnya beban rumah tangga mereka menghadapi dampak perubahan iklim. Kondisi perempuan menjadi lebih berat pada masa-masa sulit seperti ketika terjadi gagal panen, gagal tanam, atau adanya kerusakan pada ekosistem lingkungan. Selain itu, adanya ketidaksetaraan dalam hal aksesibilitas terhadap sumberdaya, dalam pengambilan keputusan, dan keterbatasan untuk melakukan migrasi juga merupakan faktor lainnya yang semakin memperberat beban perempuan karena harus menanggung dampak dari perubahan iklim secara tidak proporsional.


Dalam perumusan strategi, sangatlah penting untuk memberi perhatian khusus terhadap keterkaitan antara perubahan iklim dengan gender (penekanan pada kerentanan perempuan) serta melibatkan perempuan dalam setiap tingkat proses pengambilan keputusan, agar intervensi dapat dilakukan secara tepat dan kebutuhan perempuan dapat terakomodasi secara optimal. Kontribusi perempuan dalam mengatasi dampak perubahan iklim juga perlu diapresiasi karena terbukti perempuan tidak saja mampu beradaptasi, bertahan terhadap perubahan tetapi juga memiliki kemampuan menjadi ‘motor penggerak’ dalam mengatasi persoalan terkait dengan perubahan iklim. Dengan demikian, mempertimbangkan perspektif gender dalam kebijakan, program maupun pendanaan terkait dengan perubahan iklim, dapat dikatakan merupakan suatu keharusan karena upaya tersebut tidak saja untuk memastikan bahwa perempuan dapat berkontribusi aktif namun dapat memperoleh manfaat dari beragam solusi yang dirumuskan. Terkait dengan program bantuan di tingkat rumah tangga harus langsung ditujukan pada perempuan bahkan pada kepala keluarga yang mayoritas adalah laki-laki.

*) Artikel ini ditulis oleh Giza Gasica Safirawidyandri untuk seleksi peserta Forum Remaja Nasional II

Leave a Reply