Stop Hoax !

with Tidak ada komentar

Oleh Moh Zulham Alsyahdian

Pertama kali dalam sejarah politik modern Amerika Serikat, di mana perhelatan Pemilihan Presiden (Pilpres) yang dilaksanakan pada 2020 yang  lalu, mengalami beberapa insiden yang bahkan hampir-hampir saja menuju chaos, dalam kehidupan politik negara Paman Sam. Hal ini ditandai dengan penyerbuan dan pendudukan ruang Capitol AS oleh pendukung sang petahana, Donald Trump, serta sejumlah demonstrasi oleh pendukung Trump di beberapa negara bagian. Amerika Serikat, sebagai kampiun demokrasi, kali ini diuji kedewasaannya dalam sebuah perhelatan 4 tahunan. 

Apa yang terjadi di Amerika Serikat, menurut para pengamat sebagai akibat dari masifikasi media online dalam penyebaran berita hoax, di tengah panasnya kancah persaingan politik antara Joe Biden dan Donald Trump. Apa yang terjadi di Amerika Serikat ini, patut menjadi warning bagi kita, bangsa Indonesia, betapa negara sebesar Paman Sam dan sang kampiun demokrasi pun hampir menjadi chaos, oleh karena berita hoax yang begitu kencang dalam pelaksanaan pemilihan presiden kemaren. Apakah lagi kita, negara Indonesia.

Contoh paling sahih tentang dampak negatifnya hoaks terjadi di beberapa negara Arab, yang kita kenal dengan istilah Arab Spring. Dimulai dari Aljazair, Libya, Suriah, Afghanistan, Irak, dan seterusnya. Di mana hoaks-hoaks yang berseliweran di media sosial, bahkan mengancam eksistensi sebuah negara, atau paling tidak, negara tersebut mengalami chaos dan konflik sosial yang berkepanjangan [bahkan sampai dengan saat ini] dan seakan–akan tidak tahu ujungnya. Dalam istilah Almarhum Buya Syafi’i Ma’arif disebut, “seakan kepingan neraka yang dipindahkan ke bumi”. 

Berbagai fakta di atas, seharusnya menjadi warning bagi kita bangsa Indonesia, untuk bisa bersikap arif dan bijak di dalam bermedsos. Tidak sekedar share dan share segala informasi yang kita dapatkan (dari mana pun itu). Karena akibat yang ditimbulkan bisa sangat fatal dan merugikan. Belajar dari Amerika Serikat dan beberapa negara Arab di atas, menjadikan kita sebagai warganet yang cerdas dan bijak terhadap berbagai arus informasi yang ada. 

Say No To Hoax

Fenomena warganet di atas, sudah sedari awal disinyalir oleh Profesor Bauerlein (Ton Tapscott, 2013). Menurut Bauerlein, “Mereka mengunggah dan mengunduh, menjelajah dan mengobrol, mengirimkan tulisan dan rancangan mereka, tetapi mereka tidak pernah belajar menganalisis sebuah teks yang kompleks, menyimpan fakta di kepala mereka, mendalami sebuah keputusan kebijakan luar negeri, belajar dari sejarah, atau mengeja kata-kata dengan benar”.

Lalu bagaimana sikap kita seharusnya ? Satu hal yang harus kita ingat, bahwa hoaks dapat merugikan orang lain dan memengaruhi pola pikir penerima berita. Penyebar berita hoaks pun tidak begitu saja luput dari jeratan hukum. Oleh karena itu, pengguna medsos harus cermat dan bijak dalam mengunggah informasi. 

Untuk menyikapi konten informasi di media sosial yang memiliki kemungkinan benar dan salah, Majelis Ulama Indonesia atau MUI (yang notebene sebagai institusi rujukan umat Islam) bahkan secara khusus memberikan tips atau panduan dalam menyikapi berita hoax tersebut. Di antaranya : konten yang baik pun belum tentu benar. Sementara, konten yang benar belum tentu bermanfaat. Konten yang bermanfaat pun belum tentu cocok untuk disampaikan ke publik.  MUI juga memberikan panduan kepada umat Islam (khususnya) untuk memverifikasi setiap informasi yang datang kepadanya. Menurut MUI, sumber informasi harus dipastikan sanadnya yang meliputi kepribadian, reputasi, kelayakan, dan ketepercayaannya. Dipastikan aspek kebenaran konten yang meliputi isi dan maksudnya. Konteks tempat dan waktu serta latar belakang saat informasi disampaikan juga harus dipastikan.  Pada akhirnya, jadilah warganet yang cerdas dan kritis terhadap berbagai informasi yang kita terima. Lakukan cek dan ricek  terhadap segala informasi yang sampai. Seleksilah mana yang perlu diinformasikan kembali dan mana yang tidak. Perlu kiranya kita menggunakan teknik berpikir kritis yang pernah disampaikan oleh Socrates (dalam Rhenald Kasali, 2015) pada masa silam, ketika setiap kali mendengar seseorang menyampaikan sesuatu. Terhadap segala sesuatu, apalagi “berita miring”,  seyogyanya kita selalu menyampaikan tiga hal ini : (1) Apakah berita yang diceritakan itu adalah sesuatu yang benar-benar diyakini kebenarannya, (2) Apakah itu tentang orang yang sudah dikenal dan tahu persis kehidupannya, serta (3) Apakah itu berita positif atau negatif. Semua keputusan dan pilihan, sekarang ada di ujung jari-jari kita, saring sebelum sharing !

Leave a Reply