(Oleh: Kuswijoyo)
Perjalanan menyatunya para pemuda Indonesia dalam menyatakan kebersamaan bukan hanya didasari kekerasan, tetapi muncul atas sikap persatuan dari niat untuk menyatukan rasa yang timbul dari dalam diri para pemuda dan bebas dari gerakan “Radikalisme” seperti ungkapan seorang RMP. Sosrokartono “sesosok jagoan sangat tak tampak jagoan” ketika ukuran ke”jagoan” itu adalah laiknya para pemuda yang memegang “gerakan secara diem” dan bukan sebaliknya para pemuda yang dilukiskan: hidup berantakan, mati muda dan bertabrakan dengan segala norma masyarakat.
Justru, sang jagoan dalam kebudayaan Jawa adalah yang sama sekali tak berpikir dan berperilaku “radikal” semacam itu. Maka, terdapatlah idealitas dalam kebudayaan Jawa yang terkenal dengan ungkapan “hamemayu hayuning bawana” yang secara substansial berkaitan dengan konsep keselarasan, baik keselarasan diri sendiri, antar-diri dan alam seisinya.
Peristiwa Sumpah Pemuda yang tergelar pada 28 Oktober 1928 adalah sebuah peristiwa besar bangsa Indonesia yang dalam menyajikan sikap muda dan pemuda, jauh dari gerakan radikal, tetapi sikap muda dan pemuda dalam peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 justru adalah sebuah sikap yang dalam kebudayaan Jawa sudah bertaraf “sepuh” di mana, untuk meminjam ungkapan Serat Wedhatama dipandang sebagai “Liring sepuh sepi hawa”.
Jadi, kategori sepuh di sini sama sekali tak ada kaitannya dengan usia. Bukankah sepuh ketika para pemuda pada tahun itu sudah rela untuk berbagi dan menautkan kepentingan dengan latar-belakang yang berbeda-beda? Bukankah sepuh ketika gelegak jiwa muda yang lazimnya ingin menang-menangan, ungas dan umuk rela mengalah demi kepentingan yang jauh lebih besar dan berjangka panjang? Bukankah sepuhketika para pemuda pada tahun itu sudah merumuskan keselarasan yang bernama “Indonesia” yang biasanya hanyalah pekerjaan para orangtua?
Dengan demikian, dalam perspektif kebudayaan Jawa radikalitas adalah sebuah sikap yang identik dengan gelegak jiwa yang belum mengendap yang konon, dalam spiritualitas Islam, mestilah dimiliki oleh seorang pemimpin ketika membuat keputusan atau merumuskan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Maka, dapat diketahui bagaimana konon seorang KH. Hasyim Asy’ari memerlukan waktu yang tak sekejap untuk sekedar mengeluarkan fatwa jihad yang melatari konsep nasionalisme-religius yang berkonsekuensi pula pada akhirat.
Tentu, segala hal yang berbau muda tak pernah berasa satu. Sebagaimana dalam kebudayaan Jawa di mana kemudaan itu justru bernuansa tua dengan adanya istilah sinom yang, dalam kasus Ronggowarsita, menandakan kedewasaan seseorang. Secara harfiah, istilah sinom dapat berarti muda dan juga berarti pupus dedaunan. Di sinilah Ronggowarsita kemudian menggunakan istilah sinom yang berarti pupus dengan sikap keikhlasan dalam menjelang takdir: mupus pepesthening takdir.
Ungkapan mupus pepesthening takdir, bagi Ronggowarsita, adalah menghilangkan sikap frontal dalam menghadapi sesuatu yang menjelang. Dan justru di sinilah rahasianya di mana kebutuhan akan sikap yang tak frontal dan bahkan radikal itu akan membuahkan adanya harapan laiknya pupus yang berarti tunas dedaunan.
Peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 adalah sebuah momen di mana yang muda, kemudaan dan pemuda sama sekali tak identik dengan radikalitas. Namun lekat dengan jiwa-jiwa yang tak kekanak-kekanakan. Itulah Indonesia yang diidam-idamkan terwujud pada tahun 1945.
Leave a Reply