Refleksi HUT RI 77: Agama dan Kepercayaan lokal Pulih Lebih Cepat dan Bangkit Lebih Kuat

with Tidak ada komentar

Oleh : Herma Fatonah

Tinggal di negara yang masih kental dengan budaya patriarki sangat berpengaruh terhadap ajaran agama yang cenderung mengajarkan relasi yang timpang. Telah menjadi pemahaman umum bagi kita semua bahwa Indonesia hanya mengakui enam agama secara resmi. Ke enam agama ini merupakan Budha, Hindu, Islam, Kristen, Katolik, dan Konghucu. Menurut masyarakat awam agama selain yang saya sebutkan di atas seringkali di anggap sebagai agama yang tidak diakui oleh pemerintah contohnya agama dan kepercayaan masyarakat lokal.

Anggapan ini semakin diperburuk dengan adanya budaya stereotipe dan stigma masyarakat Indonesia yang sangat kental. Sehingga menjadikan umat pemeluk agama dan kepercayaan lokal mendapatkan diskriminasi. Bentuk diskriminasi yang didapatkan oleh pemeluk agama lokal ini berimplikasi kepada banyak hal seperti diskriminasi pelayanan publik, pembatasan hak beragama dan beribadah, bahkan sampai ke sikap intoleransi antar umat beragama. Sebenarnya hal ini disebabkan oleh minimnya pengetahuan dan pengakuan umum terhadap agama lokal.

Minimnya pengakuan penganut agama dan kepercayaan lokal ini dulu dapat dilihat dari Kartu Tanda Penduduk(KTP) para penganut agama tidak resmi menurut pemerintah pada kolom bagian agama hanya di tuliskan dengan simbol garis pendek mendatar atau (-). Pada kolom ini agama mereka tidak dapat dicatatkan. Hal ini tentu saja berimbas pada dokumen lainya seperti dokumen kelahiran, pernikahan, layanan Kesehatan, bahkan sampai dokumen kematian. Lalu bagaimana dengan pemenuhan hak-hak sebagai warga negara Indonesia? Tentu saja, belum sepenuhnya tercukupi. Pasalnya di sektor pendidikan siswa penganut agama dan kepercayaan lokal belum mendapatkan ruang atau pelajaran agama yang sesuai dengan kepercayaanya di sekolah.

Di jaman dulu demi mendapatkan kemudahan pelayanan pubik penganut agama dan kepercayaan lokal terpaksa harus merubah agamanya kedalam salah satu agama yang di akui pemerintah. Dikarenakan keterbatasan teknologi digital pada sistem layanan publik saat itu seringkali tidak dapat mengakomodasi pengosongan pada kolom agama. Sering kali hal ini menjadi penghambat akses layanan publik. Seperti halnya pada sektor pendidikan , jika siswa mengisi kolom agama dengan kepercayaan dan agamanya sistem pada (DAPODIK) atau data pokok pendidik akan muncul tulisan “belum diisi dengan agama yang benar” pada layar komputer.

Hal ini tentu saja sangat bertolak belakang dengan peraturan dalam undang-undang mengenai administrasi kependudukan. Secara khusus disebutkan dalam pasal 61 (2) dan 64 (2) undang-undang Nomor 23 tahun 2006 atau pada pasal 64 (5) Undang-undang nomor 24 Tahun 2013 yang mengatur bahwa keterangan pada kolom agama atau elemen data kependudukan mengenai agama bagi penduduk yang agamanya belum diakui oleh peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan boleh tidak diisi, dan tetap harus dilayani dan dicatat dalam database kependudukan. akan tetapi dalam undang-undang ini tidak membatasi pengakuan agama resmi menurut pemerintah melainkan mengakui semua agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Maka praktik akomondasi pengisian dalam kolom agama yang hanya terdapat agama resmi tidak memiliki landasan yang sah menurut hukum.

Melihat ketimpangan ini maka banyak kawan kawan dari Gerakan akar rumput atau Lembaga swadaya masyarakat ikut menyuarakan hak kawan-kawan pemeluk agama dan kepercayaan lokal kepada pemerintah. Setelah sekian lama menyuarakan keluh kesahnya di tahun ini bagaikan setelah hujan badai Panjang kini Indonesia menuju ke masa yang cemerlang, menyambut fajar menyongsong menyinari dalam kegelapan pemeluk agama dan kepercayaan lokal perlahan tapi pasti mendapatkan kembali haknya sebagai warga Indonesia.

Kepercayaan diri pemeluk agama dan kepercayaan lokal khususnya di kota Yogyakarta terus dihidupkan oleh Gerakan akar rumput. Sehingga perlahan pemeluk agama dan kepercayaan lokal dapat eksis percaya diri menyuarakan agamanya tanpa takut didiskriminasi dan terpenuhinya hak-hak sebagai warga masyarakat Indonesia. Dari mulai sektor pendidikan dengan memenuhi hak dalam mendapatkan fasilitas pelajaran agamanya dan ruang untuk beribadah, pelaksanaan adat nikah atau pun pemakaman selain itu pula pemerintah juga mulai terbuka dengan mempermudah pengisian elmen dokumen negara perihal agama dengan memberikan kolom lain-lain serta mempermudah izin dalam pendirian tempat ibadah, sikap toleransi masyarakat antar umat beragama penghayat kepercayaan juga semakin tinggi. Harapan kita semua di HUT RI-77 Indonesia dapat menciptakan kebijakan-kebijakan yang berprespektif pada perdamaian, keberagaman, dan toleransi. Bersama-sama pulih menebar hal baik bangkit dalam narasi-narasi kedamaian dalam keberagaman.

Leave a Reply