Oleh Marlinda Oferus
Saya Marlinda Oferus, perempuan yang lahir dan dibesarkan di Maumere, Flores- NTT. Provinsi yang terkenal kuat dalam memegang adat istiadatnya, seperti halnya rata-rata provinsi lain di wilayah timur Indonesia. Budaya dan adat istiadat ini diwariskan dan terus dihidupi dari generasi ke generasi.
Sejak berada di bangku kuliah saya mulai terbiasa untuk terbuka dan berdiskusi dengan dosen dan teman-teman seangkatan. Perjumpaan dengan banyak orang sewaktu kuliah membuat saya mudah berdiskusi tentang banyak hal, tak terkecuali; budaya belis.
Budaya belis menjadi salah satu tradisi yang masih dipertahankan sampai sekarang ini. Tradisi dilakukan saat seorang laki-laki melamar perempuan. Belis menjadi simbol penghargaan dan penghormatan terhadap perempuan yang dilamar. Perempuan yang nantinya menjadi istri dan ibu yang melahirkan dihormati sebagai pembawa kehidupan dan keberkahan dalam keluarga
Keberadaan belis dalam arus modern mempunyai cerita sendiri. Cerita-cerita ini berawal dari pengalaman anak muda terhadap pelaksanaan dari belis. Bagaimana pandangan anak muda tentang belis Suku Sikka? Apakah anak muda Suku Sikka sudah memahami belis dengan baik?
Sebagai seorang perempuan yang lahir dan tumbuh dalam suku Sikka, saya menentang dan merasa dirugikan dari pelaksanaan belis saat ini. Saya sendiri ada perasaan takut untuk menikah. Ada beberapa persoalan dari pelaksanaan belis yang menimbulkan sikap menentang, menolak, merasa dirugikan dan merasa takut dalam diri saya.
Mendengar pengalaman orang-orang yang sudah menikah, ketika ada masalah dalam rumah tangga pasti akan menyinggung dengan belis yang sudah mereka laksanakan sebelumnya. Disisi lain saya juga biasa mendengar guyonan anak-anak muda yang mengatakan percuma perempuan sekolah tinggi karena pada akhirnya akan ditukar dengan kuda.
Saat saya semester dua, kaka sepupu saya melamar seorang perempuan dengan kuda berjumlah dua puluh satu ekor dan uang sebesar dua puluh enam juta rupiah. Ini jumlah yang sangat besar. Kaka saya pastinya punya kewajiban untuk membalas lagi keluarga besar yang pernah membawa kuda untuk pelaksanaan belis. Mau tidak mau, kaka saya harus memenuhi kewajibannya walaupun uang tidak ada. Sampai saat ini, kaka saya dan istrinya belum menikah secara gereja karena masih terlilit hutang dan modal yang belum mencukupi.
Saya punya pengalaman lain. Orangtua saya pun seringkali terlibat dalam urusan belis. Di tahun 2021 ini saja, terhitung sampai lima kali orangtua dipanggil sebagai ue wari untuk mengurus proses belis. Tentunya harus membawa kuda atau uang untuk memenuhi panggilan. Saya terkadang masih protes dengan hal ini karena berbenturan dengan uang sekolah saya.
Akhir-akhir ini, beberapa anak muda mulai bersuara dan berbagi pengalaman tentang pandangan mereka terhadap pelaksanaan belis di Suku Sikka. Suara-suara anak muda ini mungkin belum terlalu terdengar hingga ke permukaan tetapi masih tenggelam dalam ruang lingkup yang terbatas, hanya terdengar dalam tongkrongan-tongkrongan kecil maupun obrolan-obrolan lepas dalam komunitas tertentu. Ada juga yang menumpahkan protes terhadap belis lewat mural dan youtube.
Di area gelora samador, ada pemandangan yang tak biasa terlihat. Ada mural yang bergambar sepasang laki-laki dan perempuan yang berkepala kuda dan babi dengan bertuliskan nona belis mahal. Orang-orang yang melewati area samador pasti sering melihat pemandangan mural ini. Keresahan dan kritik terhadap belis dituangkan lewat mural.
Selain melalui mural, anak muda juga menumpahkan ekspresinya terhadap belis melalui audiovisual, salah satunya melalui chanel yuotube, Ngakak Sembarang. Dalam salah satu edisi tentang belis, ada cuplikan percakapan antara Lena dan Kobus terhadap belis, seperti berikut ini:
“Maksud apa kau datang ke saya punya rumah, hasut-hasut saya punya istri untuk ikut KB dan kau mengatakan bahwa dua anak lebih baik. Sedangkan kau tidak tau bahwa istriku itu belisnya sangat mahal.”
“Sebenarnya video edisi belis ini bukan hanya dibuat untuk hiburan tetapi sedang mengangkat fenomena yang terjadi sekarang. Biasa kita lihat, kalau ada anak perempuan yang mau dipinang pasti permintaan dari pihak keluarga itu sangat besar walaupun ada persetujuan di meja adat juga sih. Tapi kan akan menyusahkan anak perempuan mereka di kemudian hari juga kan,” ungkap Zindy selaku salah satu sutradara di Ngakak Sembarang.
Zindy yang sekaligus berperan sebagai Lena mengharapkan ada kesadaran dari keluarga agar nilai belis tidak bisa menyusahkan untuk kedua mempelai dikemudian hari. Kekhawatiran Zindy lebih condong ke perempuan yang kemudian hari akan menikah karena biasanya rentan mendapatkan permasalahan dari pelaksanaan belis dewasa ini.
Untuk mengetahui suara anak muda mengenai pelaksanaan belis selama ini, saya pun bertemu dan berbincang bersama mereka. Anak-anak muda ini masih mengenyam pendidikan di perguruan tinggi yang berada di wilayah Maumere dan Jawa.
Saya bertemu dan mengobrol dengan Kornel Wully, mahasiswa STFK Ledalero sekaligus anggota PMKRI ST. Thomas Morus, Maumere. Obrolan saya dengan pemuda 23 tahun ini begitu mengalir dengan pandangannya sebagai seorang laki-laki yang lahir dan tumbuh dalam suku yang masih menjalankan budaya belis sampai sekarang ini.
“Menurut saya, belis sebagai simbol penghormatan dan penghargaan dari laki-laki dan perempuan begitu pun sebaliknya. Dalam belis, terjadi pertukaran barang. Pihak laki-laki memberikan gading, kuda, dan uang dan pihak perempuan memberikan balasan berupa babi, beras dan utan patan,” ujar Kornel.
Bagi Kornel, ketika proses pelaksanaan belis itu sudah dilaksanakan, maka disitu terjadi komunikasi sosial antara dua rumpun keluarga. Pihak laki-laki merasa sudah menjadi bagian dari keluarga perempuan. Begitu pun sebaliknya, pihak keluarga perempuan merasa sudah menjadi bagian dari keluarga laki-laki. Pelaksanaan belis dewasa ini masih senada dengan titik awal proses pelaksanaan belis akan tetapi ada berbagai kejadian-kejadian yang tentu saja memberikan pandangan yang berbeda tentang belis ini.
“Saya ambil satu contoh, terjadi pembatalan nikah secara sepihak oleh pihak perempuan dengan alasan pihak laki-laki belum membayar belis sesuai dengan permintaan. Disitu ada aspek ekonomi yang mulai masuk,” ujar Kornel.
Hal yang membuat Kornel sedikit keberatan dengan pelaksanaan belis manakala belis itu sudah melampaui kemampuan saya untuk memberikan kepada pihak perempuan. Saya menerima belis, tetapi kalau melampui maka saya menolak. Belis tidak boleh memberatkan pihak laki-laki maupun perempuan.
Cerita Kornel tentang belis, mengingatkan curhatan teman-teman laki-laki saya yang merasa keberatan dengan pelaksanaan belis. Curhatan ini biasa saya dengar di kantin kampus, di tempat organisasi maupun di tongkorongan. Bagi saya ini bukan sekedar curhatan tetapi suara dari teman-teman laki-laki yang merasa terdiskriminasi dan memberatkan mereka dari pelaksanaan belis dewasa ini. Obrolan saya bersama Kornel mewakili suara teman-teman laki-laki yang belum muncul ke permukaan.
Selain Kornel, saya juga mengobrol dengan Yoli, alumni Universitas Nusa Nipa Maumere. Pemuda ini sudah saya kenal sejak lama karena menjadi kaka tingkat pada program studi yang sama. Sekarang Yoli sedang melanjutkan kuliah pascasarjana di salah satu universitas yang ada di Jawa.
Menurutnya dengan perkembangan zaman yang mulai maju, dirinya sangat merasakan bahwa nilai dari belis sudah bergeser. Tetapi ketika mendalami lagi maknanya, belis sebenarnya memiliki nilai-nilai filosofis didalamnya. Ketidakpahaman orang-orang dewasa ini yang membuat makna belis sudah mulai terkikis.
“Saya sebagai anak muda tentunya tetap mendukung proses pelaksanaan belis. Saya tidak setuju ketika belis dinilai mempersulit kedua bela pihak. Keberadaan belis harus dipahami sebagai simbol yang menguatkan hubungan antara mempelai laki-laki dan perempuan,” ujar mahasiswa yang sedang mengerjakan tesisnya.
Dilain kesempatan, saya pun bertemu dengan Carlin Karmadina, mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Nusa Nipa. Obrolan saya dengan perempuan yang akrab disapa Carlin ini begitu lancar. Sebelumnya, kami berdua sempat terlibat obrolan ringan tentang pelaksanaan belis dewasa ini.
Carlin menilai anak muda sekarang sudah kehilangan dan tidak mempelajari belis dengan baik sehingga muncul ketidakpahaman. Lalu belis bergeser dan menciptakan kesan jual beli. Kesan itu bisa jadi memang disengaja. Bagi dirinya, belis adalah wujud penghormatan terhadap martabat perempuan dan harus berjalan denga semestinya.
“Saya pribadi merasa bahwa nilai seorang perempuan tidak bisa digantikan dengan apapun, termasuk belis. Nilai-nilai belis harus diajarkan secara turun temurun. Saya sendiri pro dengan pelaksanaan dari belis. Saya menyebut diri sebagai orang yang paham, saya akan mengedukasi orang lain bahwa belis itu tidak salah, tapi ketidakpahaman itu yang membuat hal lain menjadi buruk,” ungkap mahasiswi semester delapan ini.
Saya pun bertemu dengan teman perempuan saya yang lain, Natalia Lehan namanya. Teman kuliah dan teman diskusi tentunya. Kedekatan kami di bangku kuliah, melahirkan banyak diskusi menarik terutama pandangannya tentang belis. Saat diwawancara ternyata kecemasan yang selama ini saya dengar belum juga berubah.
Ada satu hal yang saya tangkap ketika mengobrol dengan Natalia. Sepertinya Natalia punya perasaan cemas dan khawatir dengan masalah belis. Dirinya tidak setuju ketika akan menikah dan pihak dari om meminta belis dengan nilai yang tinggi. Menurut Natalia, nilai mahar tidak tidak harus besar tetapi yang diperhatikan adalah kebahagian dari pasangan yang akan menikah.
“Saya ada kekhawatiran ke depannya, ketika saya akan menikah dan pihak dari om-om akan meminta belis yang tinggi. Kalau untuk orangtua kandung kita sih pastinya mengerti tapi mereka tidak punya hak untuk omong. Saya punya harapan kalau akan mengurus belis nanti, pihak dari om-om harus meminta pendapat saya juga. Saya sebagai perempuan punya beban dengan persoalan belis sekarang ini,” ungkap Natalia.
Setelah terlibat obrolan dengan beberapa anak muda ini, saya merasa bahwa masih ada kekhawatiran dan kecemasan dari proses pelaksanaan belis ini. Tapi apa yang mereka rasakan dan persoalan dari pelaksanaan belis dewasa ini masih belum menemukan titik terang.
Setelah mendengar pandangan anak muda, saya pun bertemu dengan dosen Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Nipa, Dr. Jonas K Geri Dori Gobang, untuk berbincang mengenai fenomena belis dari sudut pandang sosial budaya. Kami terlibat dalam obrolan dan diskusi yang begitu lancar.
Dalam perkawinan adat atau budaya belis, bukan hanya kehendak satu pihak atau keinginan dari pihak perempuan, melainkan atas dasar kesepakatan bersama dalam meja adat melalui perundingan. Disini kita bisa melihat bahwa fungsi delegatus menjadi penting karena menegosiasikan untuk mencapai kesepakatan. Jika tidak terjadi kesepakatan, maka proses pelaksanaan belis tidak akan dilaksanakan. Simbol dari kesepakatan itu sendiri terjadi ketika kedua delegasi melakukan salaman.
Menurut Geri, pelaksanaan belis tidak boleh dilihat sebagai proses transaksional. Perkawinan adat adalah perkawinan dua suku, bukan hanya bersatunya laki-laki dan perempuan tetapi menyatukan keluarga kedua bela pihak.
“Dalam perspektif budaya, kita menemukan keseimbangan dari proses pelaksanaan belis ini. Pihak laki-laki memberikan gading, kuda, emas dan uang kepada pihak perempuan serta pihak perempuan memberikan babi, beras, dan utan labu kepada pihak laki-laki. Dan ini sudah diatur secara baik dan tersistematis sejak dahulu kala”, tutur Geri.
Menurut budayawan Viktor Nekur, ketidakpahaman generasi muda mengenai belis menjadi bagian dari koreksi adat terhadap generasi tua menyangkut belis perkawinan. Harapannya belis tidak dijadikan beban karena hadirnya keluarga besar untuk memenuhi harkat adat dalam perkawinan.
“Proses mendidik anak muda secara adat tidak pernah masuk sehingga ada anggapan bahwa belis masih menyulitkan secara ekonomi, saya ingin bilang bahwa di belis itu dia tidak pernah menakar berapa nilainya. Semakin tinngi sebutannya berarti keluarga perempuan semakin menghargai kemampuan keluarga laki-laki. Didalam perkawinan adat, tidak mengenal pembayaran tunai. Masih banyak orang juga yang menilai bahwa KDRT terjadi karena belis. Belis itu bukan faktornya. KDRT terjadi ketika kedua mempelai tidak menghargai perkawinan adat”, ujar Viktor.
“Saya sendiri sepakat bahwa pembelajaran tentang belis harus dimasukan kedalam mata pelajaran Muatan Lokal (mulok) di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas (SMA),” ujar Viktor.
Setelah melewati ragam perbincangan itu, saya turut percaya dan yakin bahwa anak muda di Nusa Tenggara Timur harus turut menjadi pewaris dari budaya belis. Belis yang ditujukan untuk menjunjung harkat dan martabat serta menunjukkan jati dirinya, tidak hanya perempuan tapi juga laki-laki.
Saya dan teman-teman muda lainnya harus terus terlibat dalam diskusi-diskusi tentang belis. Agar kelak, kami generasi penerus tidak menurutkan paham-paham salah tentang belis. Bahwa sejak awal, belis ada untuk melindungi dan menunjukkan rasa cinta pada pasangan. Bukan untuk memberatkan apalagi melukai yang kemudian menimbulkan ketakutan-ketakutan di generasi muda.
Leave a Reply