Oleh: Akhmad Luthfi Aziz
Utami Budi Winarti (43) sambil menghela napas Panjang bercerita “Dulu kami dijanjikan akan dibangunkan kios atau lapak di area dalam stasiun untuk para pedagang. Namun sudah 8 tahun sejak saat itu, kios-kios yang dijanjikan tak kunjung terwujud,”
Perempuan yang biasa dipanggil Mba Tami ini tidak habis pikir. Penantiannya bersama belasan pedagang lain selama 8 tahun untuk mendapatkan kios di dalam Stasiun Wates berakhir sia-sia. Bukan itu saja, lapaknya yang ada di depan stasiun tersebut terancam digusur.
Awal mula peristiwa penggusuran di tahun 2014, saat PT KAI DAOP 6 Yogyakarta melakukan penataan kawasan Stasiun Wates. Saat itu puluhan pedagang yang mencari nafkah di dalam stasiun diminta untuk pindah ke area luar stasiun Wates.
Bagi Tami dan pedagang yang lain, ini bukan kali pertama lapak dagangannya digusur PT KAI DAOP 6 Yogyakarta. Sebelumnya Tami dan para pedagang lainnya juga pernah merasakan pahitnya digusur pada tahun 2014. “Dulu 2014 kami digusur dari dalam ke luar, sekarang sudah diluar mau digusur lagi entah ke mana” kata Samsidah (59), pedagang lain yang juga jadi korban penggusuran.
Penataan kawasan Stasiun Wates yang dilakukan PT KAI DAOP 6 Yogyakarta pada tahun 2022 ini hendak merelokasi para pedagang yang berada di depan Stasiun Wates untuk dipindahkan ke Pasar Sentolo Baru dan Pasar Bendungan lantai dua. Namun hal ini ditolak oleh para pedagang, Tami menuturkan bahwa Ia dan teman-teman pedagang sudah survey ke kedua pasar tersebut. Dan keduanya tergolong sepi dan kurang menjajikan bagi mereka.
Hal ini tentu berdampak langsung pada kehidupan ekonomi mereka terlebih dalam menghadapi situasi pandemi COVID-19 seperti sekarang. Bagi para pedagang stasiun khususnya Tami, berdagang merupakan satu-satunya sumber mata pencahariannya. Dalam situasi normal biasanya Tami mampu mengantongi keuntungan bersih lima puluh sampai dua ratus ribu rupiah dalam sehari. “Namun semenjak pandemi penghasilannya hanya tiga puluh sampai lima puluh ribu rupiah saja, itupun masih kotor alias belum dikurangi modalnya” tuturnya.
Dari hasil berdagang inilah mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Sebut saja Samsidah yang sudah berdagang di Stasiun Wates sejak 1996, bahkan setelah ditinggal mati suaminya pada 2018 Ia harus mencukupi kebutuhan kedua anaknya sendirian. Berbeda dengan Kelik (42) yang sudah 8 tahun menggantungkan hidupnya dengan berdagang agar mampu menafkahi keempat anaknya. Dan Tami yang tinggal bersama putranya mengaku sudah 16 tahun berjualan di Stasiun Wates meneruskan usaha dari kedua orang tuanya.
Sampai hari ini para pedagang stasiun yang dipimpin oleh Tami masih konsisten berjuang mengadvokasi diri mereka guna mendapatkan apa yang layak bagi mereka. Mulai dari mengadu kepada DPRD Kulon Progo, audiensi kepada Bupati Kulon Progo dan Wakilnya hingga melapor ke Ombudsman RI DIY telah mereka lakukan.
Situasi terakhir para pedagang telah menerima tawaran kios di dalam stasiun Wates dari PT KAI DAOP 6 yang disampaikan melalui Ombudsman RI DIY di kantornya. Namun pedagang ingin ada pertemuan lanjutan bersama PT KAI yang difasilitasi oleh Ombudsman RI DIY untuk membahas detail kesepakatan tersebut.
Pada akhirnya masa depan mereka bergantung pada bagaimana mereka mampu menegosiasiakan dengan baik kepada parapihak/stakeholder mengenai apa-apa yang menjadi kebutuhan mereka sebagai para pedagang stasiun Wates.
Leave a Reply