oleh Suwarsih HWDI Kulon Progo
Saya masih ingat aktivitas di muara Sungai Serang yang terletak di sebelah barat wilayah Kalurahan Margosari Kapanewon Pengasih Kabupaten Kulonprogo. Di tempat itu pagi hingga sore hari tempat warga mengais rezeki dengan menjual batu kali sebagai mata pencaharian pokok untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sekitar tahun 1980-an hingga tahun 2000-an di muara Sungai Serang ada beberapa titik yang digunakan warga untuk menambang batu kali. Setiap titik terdapat sekitar 10-15 orang penambang batu kali. Kebanyakan dari mereka merupakan perempuan. Jika ada laki-laki biasanya saat mereka tidak bekerja di ladang. Warga Margosari khususnya para perempuan yang bekerja sebagai penambang batu kali mengaku bekerja menambang batu kali guna menambah pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan tak sedikit dari mereka yang menjadikannya sebagai mata pencaharian pokok kala itu.
Saya menemui Partinem (59 tahun) salah satu penambang batu, ia menjelaskan bahwa dirinya menambang batu kali sejak berusia 14 tahun. Selain itu, pilihan bekerja mencari batu kali di muara Sungai Serang ia lakukan demi membantu ekonomi keluarganya.
“Biasanya saya bersama teman-teman lainnya berangkat menambang jam 7 pagi dan pulang sore hari sekitar jam 3 bahkan terkadang bisa sampai petang” ungkap Partinem melanjutkan ceritanya. Mereka bekerja menggumpulkan batu kali dari sungai untuk dibawa ke daratan yang agak jauh dari sungai agar batu tersebut itu tidak terbawa arus sungai ketika air sungai naik atau banjir.
Setidaknya saya mengamati ada 4 alat yang biasa penambang gunakan untuk menambang batu, yaitu: Pertama, tempurung kelapa yang sudah dibagi jadi 4 bagian untuk menggali atau mengais. Kedua, kreyeng semacam wadah untuk tempat mengangkut batu kedaratan. Ketiga, irig sejenis ayakan yang terbuat dari bambu berbentuk agak cekung sebagai alat untuk memisahkan antara batu kali dan pasir. Keempat, anggrik sejenis kursi yang tinggi sebagai alat tumpuan untuk mengangkat atau menggendong ke tubuh mereka.
Batu kali yang mereka kumpulkan mulai dari yang berukuran kecil (kerikil) hingga seukuran kepalan tangan orang dewasa. Mereka bekerja dengan menggali tepian sungai kadang sampai ke tengah-tengah sungai atau “gogoh” istilah yang biasa mereka gunakan guna menjelaskan situasi ketika mengambil batu kali dari dalam sungai.
“Tergantung cuaca, pas hujan dan air sungainya naik/banjir paling dapat seperempat atau setengah meter kubik batu kerikil, tapi pas cuacanya bagus bisa dapat setengah sampai tiga perempat meter kubik” tutur Partinem menjelaskan berapa banyak batu yang di dapat setiap harinya.
Kemudian mereka menjual batu kali tersebut kepada para pengepul dengan satuan ukur berupa meter kubik. Biasanya mereka mencatatkan hasil perolehan mereka yang sudah ditakar menggunakan alat tradisional berbentuk segiempat yang terbuat kayu berukuran 50x75x100 centi meter, yang dalam satu kali takarannya dihitung seperempat meter kubik.
Untuk mencatat berapa meter kubik batu yang didapatkan, mereka memiliki buku kecil yang digunakan mencatat hasil pengukurannya. Para penambang akan mendapatkan upahnya saat truk pengangkut batu sudah memuatnya. Namun tak jarang bila ada kebutuhan mendesak penambang boleh kasbon (semacam berhutang) terlebih dahulu kepada pengepul.
Para pengepul kemudian menjual batu tersebut kepada pada para sopir truk yang mencari batu untuk dijual dan digunakan dalam proyek-proyek pembangunan jalan, gedung, rumah atau yang lainnya. Ketika banyak proyek pembangunan biasanya truk-truk bisa mengambil batu 3 sampai 5 kali dalam sehari.
Selain mendapatkan penghasilan dari menjual batu, para penambang juga dapat membantu memuatkan batu ke dalam bak truk agar mendapatkan tambahan upah. Biasanya setiap truk butuh tenaga 3-5 orang untuk melakukannya. Tetapi hal tersebut hanya dilakukan jika sopir truk tidak membawa tenaga untuk bongkar-muat batu.
Partinem menceritakan kepada saya bahwa dahulu saat ia pertama kali menambang batu kali setiap meter kubiknya dihargai Rp 3000,00 sampai sekitar tahun 2000-an harganya terus naik menjadi Rp 45.000,00. Namun akibat pendangkalan sungai, kini Partinem sudah tak lagi mencari batu kali di muara Sungai Serang dan beralih menjadi kuli di proyek pembangunan.
Berbeda dengan Pardiono (60 tahun), Ia mengaku mencari batu kali di sungai Serang saat tidak ikut menjadi tenaga bongkar-muat truk pengangkut batu kali. Bahkan Pardiono sudah mencari batu kali sejak Ia berusia 15 tahun. Saat itu setiap harinya ia bisa memperoleh satu meter kubik jika cuaca baik. Senasib dengan Partinem, Pardiono sekarang sudah beralih profesi menjadi kuli proyek pembangunan.
Begitulah kisah kehidupan sehari-hari di muara Kali Serang pada waktu itu dan kini tinggal cerita saja.
Kali Serang
Kala itu
Aliran airmu menciptakan hiruk pikuk
Deras airmu mampu menghidupi
Orang – orang yang ada muaramu
Namun sekarang
Aliran airmu serasa sunyi
Dan kejayaanmu kemarin
Kini tinggal kenangan belaka
Leave a Reply