Oleh Oliv (Mahasiswa UIN)
Akses pelayanan pendidikan merupakan hak untuk segala pemuda dan pemudi di Indonesia untuk meningkatkan dan membangun potensi-potensi yang dimiliki dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia sehingga mereka dapat mengenyam pendidikan secara maksimal dan meraih apa yang dicita-citakan. Seperti yang tertulis di UU No.20 Tahun 2003 bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai kemanusiaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Namun, apa yang terjadi saat ini tidak sesuai dengan apa yang dikatakan oleh undang-undang, masih banyak siswa-siswa yang mendapatkan bahkan mengalami diskriminatif secara terang-terangan khusunya di lingkungan sekolah. Hal tersebut mengemuka dalam pertemuan kami yang berlangsung pada hari Selasa (08/02/2022). Kegiatan tersebut diikuti oleh teman-teman penyuluh dari Yayasan LKiS dan juga teman-teman dari penghayat kepercayaan, yang mana mendiskusikan terkait membangun akses layanan pendidikan kepercayaan tersebut untuk anak-anak penghayat kepercayaan yang kurang memadai dan kurang maksimal ketika dalam melakukan pembelajaran penghayat di sekolah. Triani (35) sebagai penyuluh atau guru penghayat kepercayaan mengatakan bahwa “untuk buku bahan ajar, kami mendapatkan dari MLKI pusat yang bekerjasama dengan Kemendikbud tetapi buku tersebut belum tercetak maka saya kirimkan via email untuk mereka agar lebih ringkas mengingat tempat kami disini terbatas jadi kami memilih media pembelajaran tersebut lewat hp”. Selain itu, Trisnandi Bagas (18) sebagai siswa penghayat kepercayaan juga mengatakan “proses dari pembelajarannya tidak jauh berbeda dengan pelajaran-pelajaran lainnya, tetapi untuk yang lain disediakan banyak ruangan sendiri, kadang untuk pembelajaran penghayat kepercayaan ga dapat ruangan kadang juga menumpang di ruangan yang lain” pungkasnya.
Berdasarkan data dapodik tahun 2021-2022, data dari jenjang TK-SMA terdapat dua puluh empat siswa yang menghayat kepercayaan dan sebelas orang penyuluh atau guru penghayat kepercayaan, dengan lima penyuluh atau guru mengajar penghayat kepercayaan di lima sekolah siswa penghayat kepercayaan. Hal tersebut mengartikan bahwa masih kurangnya tenaga pendidik atau penyuluh penghayat kepercayaan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Informasi yang telah kami dapatkan bahwa, daerah Yogyakarta yang merupakan minoritas penghayat kepercayaan berada di daerah Gunung Kidul yaitu sekitar 280-an penghayat kepercayaan yang ada termasuk anak-anak. Tetapi nyatanya, di sekolah-sekolah tidak terdapat data bagi peserta didik penghayat kepercayaan. Hal ini diyakini karena adanya miskomunikasi dari pihak sekolah dengan orangtua wali siswa penghayat kepercayaan yang menyebabkan hal ini terjadi. Selain itu, permasalahan yang kerap kali terjadi yang dialami oleh siswa penghayat kepercayaan yaitu bullying (diskriminasi) atau penghinaan dari lingkungan sekitar sekolah termasuk dari para pendidik juga (guru). Trisnandi Bagas (18) mengatakan “saya pernah ketika pas lagi ada acara persami magrib-magrib gitu, saya disuruh dan dipaksa buat sholat magrib oleh guru agama tapi saya tetap bersikeras kepada pendirian saya sendiri”katanya. Selain itu, Sinta (18) siswa penghayat kepercayaan yang bersekolah di SMK Negeri 1 Kasihan Bantul itu mengatakan “saya merasa terkucilkan, karena siswa penghayat di sekolah cumin saya dan bagas saja, saat itu ketika pelajaran biasa saya pernah ditanya tentang kitabmu apa? Nabimu siapa? lalu saya menjelaskan kalau didalam kepercayaan saya tidak ada nabi dan tidak ada kitab, jadi langsung ditunjukkan melalui sikap dan perilaku sehari-hari”ujarnya sambil menangis.
Tidak hanya sampai disitu saja, buntut dari permasalahan di atas selain mendapatkan sikap diskriminatif yaitu terkait pendataan terhadap siswa-siswa yang penghayat kepercayaan yang ada di sekolah yang masih kurang dan bermasalah. Fakta ini menunjukkan bahwa dilapangan pihak sekolah tidak ingin tahu dan tidak ingin susah dalam menangani pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari sekolah-sekolah lain maupun masyarakat. Sehingga membuat banyak siswa-siswa penghayat kepercayaan belum mendapatkan e-rapot sebagaimana teman-teman mereka yang lain dapatkan. Terkait hal ini di seluruh Indonesia maupun di Yogyakarta khususnya belum ada mengenai dapodik bagi siswa-siswa penghayat kepercayaan karena belum adanya sistem mata pelajaran yang memuat tentang penghayat kepercayaan tersebut. Walaupun sudah ada Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME, akan tetapi layanan pendidikan bagi siswa-siswa penghayat kepercayaan tidak cukup hanya pada regulasi yang rapi saja, namun harus diperhatikan lebih lanjut terkait pelayanan pendidikan sampai pada titik implementasi yang maksimal dan efektif.
Selain mempersiapkan akses layanan pendidikan bagi siswa-siswa penghayat kepercayaan di sekolah, perlu juga mempersiapkan mental dan perkembangan siswa-siswa dalam memilih penghayat kepercayaannya dari diri sendiri tanpa ada unsur keterpaksaan dan melindungi mereka serta menghindari terjadinya diskriminasi atau bullying, agar implementasi dari regulasi (UU No.20 Tahun 2003 dan UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2) tersebut sesuai tanpa adanya hal-hal yang bertentangan dengan apa yang terjadi. Dalam pertemuan kali ini, kami akan terus membantu dan mengawal teman-teman penghayat kepercayaan dalam mendapatkan legalitas ataupun layanan pendidikan khususnya. Maka dari itu, peluang akses pelayanan pendidikan harus diambil dan dimanfaatkan bersama-sama secara bijaksana, agar menjadi suatu strategi yang efektif dan terkendali untuk menunjukkan eksistensi kader-kader penghayat kepercayaan dalam meningkatkan dan mempertahankan nilai-nilai seni budaya dan adat istiadat yang ada.
Leave a Reply