(Potret Persahabatan Transpuan Dengan Biara Roh Suci SSps Maguwoharjo Sleman DIY)

with Tidak ada komentar

‘Dedikasi & Pertemanan Dalam Balutan Pelangi’

oleh Rully Mallay

Di ufuk shubuh di temaram remang cahaya fajar  pagi, gang kecil di ujung Masjid Arrahman Gantiwarno Klaten,  pasca gempa  2006 nampak ramai. Sekitar sepuluh orang suster sedang bhakti sosial menurunkan barang-barang dari mobil pick up.  Saya dan dua orang teman Transpuan lain ikut membantu, begitu juga dengan ibu-ibu yang lain juga bergabung. Kami  semua bahu membahu menurunkan sembako bantuan yang diperuntukan kepada masyarakat Kecamatan Gantiwarno yang saat itu sedang  terdampak bencana alam gempa bumi terparah.  

Singkat cerita selepas kerja bhakti kami sama-sama meneguk aqua gelas yang disajikan para suster didepan posko dengan sangat ramah dan sederhana sembari berkenalan lebih jauh. “Perkenalkan kami dari Jogja, kami suster-suster yang sedang studi dan tinggal di salah satu biara di Jogja”, ujar Suster Sarah yang berperawakan ramping putih. Dia salah satu dari suster yang menjadi Volunteer disitu. Dari obrolan singkat disiitu kami mulai saling mengenal dan mengawali pertemanan. Suster Sarah ternyata juga saling mengenal dengan suster-suster Biara Roh suci Ssps yang terletak cukup dekat dari komunitas Seruni tempat tinggal kami di Jl. Solo Km. 8 Dewan Maguwoharjo.

Pada awalnya kami masih rikuh dengan pertemanan beda keyakinan ini. Kami sempat kuatir dan menebak kemana muaranya. Sebab kami mayoritas muslim dan saya sendiri berlatar belakang keluarga muslim Muhammadiyah totok yang membesarkan saya dalam lingkup Islam yang kental, disiplin, biner dan heteronormatif. Kegelisahan di benak kami sama halnya denga apa yang ada dalam benak rata-rata orang muslim awam lainnya. ‘Jangan-jangan nantinya saya akan dibawa ke ranah kristenisasi ‘ atau pertanyaan- pertanyaan konyol semacam itu sering muncul dalam pikiran mayoritas orang Muslim yang belum punya pemahaman tentang orang yang berbeda berkeyakinan.

Namun Suster Sarah menegaskan komitmen pertemanannya sebatas solidaritas pada kelompok marginal. “ Teman-teman yang berbeda keyakinan jangan kuatir kami intervensi masalah keyakinan. Kami sangat menghormati agama apapun pilihan teman-teman, kami tidak akan mengajak teman-teman beribadah Bersama kami. Kami bersedia bekerja sama dalam aspek-aspek lingkungan, sosial, ekonomi dan pemberdayan teman-teman”. Mendengar hal itu kami merasa sangat lega.

Pertemuan-pertemuan berikutnya antara kami dan suster mulai intens, kami menjadi sering berkunjung ke posko suster dan begitu pun rekan-rekan suster. Dalam waktu yang tidak terlalu lama kami sudah menjadi sangat dekat layaknya saudara. Kebetulan Posko kami berfungsi sebagai dapur umum dan posko para suster adalah tempat suplai sembako serta obat-obatan. Seiring perjalanan waktu, kami pun seringkali makan bersama, bhaksos, penghijauan, mengadakan pertandingan Olah Raga Volly Ball dengan remaja dan pemuda yang juga melibatkan masyarakat umum bahkan sampai menghadiri pemakaman korban-korban gempa saat itu. Kami berdoa dengan cara kami sebagai Muslim dan para suster berdoa dengan cara Khatolik.

Pasca kegiatan penanggulangan bencana di Gantiwarno berakhir pun kami tetap meneruskan  relasi pertemanan kami dengan para suster lain di Jogja meskipun berbeda tempat dengan suster-suster yang pernah berjumpa di Klaten. Suster-suster tersebut tidak lain adalah tetangga kami di Maguwoharjo. Diawali dengan perkenalan dengan Suster Maria Kristin, pimpinan Biara Roh Suci SSPS Maguwoharjo saat itu. Kami akhirnya saling berkunjung, menyelenggarakan kegiatan bersama seperti kegiatan 17 an, penghijauan, bersih pantai, menjenguk teman yang sakit, menghadiri belasungkawa di tempat tetangga yang meninggal juga menyelenggarakan kegiatan pemberdayaan seperti membatik, menabung di tempat suster adalah hal-hal kecil yang semakin merekatkan relasi pertemanan kami. Pemandangan seperti ini seringkali terpotret dari kebersamaan kami hingga saat ini.

Di setiap Peringatan HUT Kemerdekaan RI menjadi momentum kebersamaan bagi kami untuk tetap berkumpul & melakukan perayaan bersama. Disitu kami menyelenggarakan ritual tirakatan malam mengenang jasa para pahlawan hingga melaksanakan perayaan puncak upacara bendera dilanjutkan dengan lomba-lomba dan pengumuman hasil lomba serta pembagian hadiah-hadiah. Disini kami berinteraksi satu sama lain lebih dekat dan kami bergabung secara acak dalam kelompok -kelompok kecil yang diundi pesertanya oleh panitia. Tentunya terdiri dari para suster, teman-teman waria, remaja dan sebagian masyarakat sekitar Biara. Semua berlangsung seru, sportif dan kompetitif serta maksimal untuk dapat memenangkan lomba.

Semua ini adalah kiat kami dalam mempererat  rasa persaudaraan lebih dalam lagi,  bercengerama sebagai umat Tuhan tanpa margin klaster profesi, agama, ras, bahasa atau suku bangsa. Bahkan saya menjadi sangat faham bahwa sedikit pun tidak ada niat dari Biara untuk menodai hubungan ini dengan mengalihkan keyakinan yang berbeda. Yang ada adalah menebarkan cinta kasih tanpa pamrih. Kami makin nyaman saja dengan keintiman persaudaraan kami bahkan ketika tiba waktu shalat misalnya, saya dapat melakukan ibadah saya dengan kyusu walaupun dalam lingkup biara disaat-saat berkegiatan disana.

Ketika erupsi gunung Merapi tahun 2010 kami mengadakan doa bersama lintas iman di Ponpes Waria Al-Fatah  bertempat di kediaman almarhum Ibu Maryani Notoyudan Jl. Jendral Soeprapto. Acara ini kami gagas bersama untuk mendoakan korban bencana sekaligus menggalang solidaritas untuk pengungsi di daerah Muntilan. Ketika menjelang acara dimulai para santri duduk berderet rapi sambil menyambut  kehadiran suster dengan salawat badar sampai dengan para suster yang berjumlah sekitar 30 orang duduk rapi dengan atribut lengkap mereka sebagai suster. Begitup pun para santri mengunakan baju koko dan sorban.

Setelah semua hadirin perwakilan dari agama Hindu, Budha, Komfucu bergabung kami memulai acara doa secara bergiliran dan acara berlangsung khikmad, damai,  lancar, dan aman sampai selesai meskipun pada saat itu sedang berlagsung acara kampanye partai yang gencar-gencarnya. Bahkan di sepanjang Jl. Letjen Soeprato ratusan tiang bendera bergambar pedang dan ka’bah tertancap tegak berkibar sepanjang jalan seakan mengancam dan mempelototi kami yang sedang berbaur dan bercengkerama dalam nuansa persaudaraan dan keberagaman.

Pertemanan panjang kami diisi dengan kegiatan-kegiatan positif seperti pemberdayaan komunitas, pelatihan salon, pelatihan membatik dan serangkaian kegiatan lain yang berdimensi kemanusiaan. Persaudaraan kami tidak dinodai dengan upaya ‘’pemaksaan keyakinan’, karena Biara memandang kami sebagai mitra yang setara, manusia seutuhnya yang punya kedaulatan penuh sebagai umat manusia, umat beragama menurut keyakinannya masing-masing yang hakiki, dan warga Negara yang berdaulat penuh atas dirinya meskipun berada dalam bingkai kehidupan yang paling alas dalam menyangga sebuah bangunan besar yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Berbhineka Tungga Ika.

Komunitas kami tidak sekalipun bertanya kapan Negara akan memberikan sesuatu untuk kami. Yang sering kami lakukan adalah bagaimana kami berkontribusi untuk Negara meskipun kami hanya dianggap sebagai sampah yang tak berguna, tetapi dedikasi dan ketulusan kami adalah prinsip spiritual yang selalu kami hembuskan melalui  nafas dan doa kami yang kami sampaikan setiap pagi, siang, sore dan malam dalam munajat dan sujud kami agar para penyelenggara Negara ini kelak tidak menjadi korup, atau menjadi gemar memamah aspal atau menenggak solar (meminjam istilah Bang Rendra Penyair almarhum),  agar kelak anak cucu mereka  tidak mengembangkan sikap bermusuhan terhadap orang yang memiliki agama dan  keyakinan yang berbeda .

 Suster  tidak memandang kami  sebagai klien yang perlu disembuhkan, diintimidasi apalagi di dikte. Kami dihargai sebagai umat Tuhan yang berharga dan bermartabat sepenuhnya sehingga ketika tiba waktu shalat disela kegiatan & aktivitas yang padat seringkali kami menunaikan shalat walaupun sedang di pelataran biara sebab Tuhan tidak melihat dimana tempat kita beribadah melainkan Tuhan melihat esensi kita beribadah seperti yang difirmankan di dalam kitab suci Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 62 : “Sesungguhnya orang-orang Mukmin, Orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Sabiin siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh maka mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekuatiran terhadap mereka dan mereka tidak bersedih hati”.

Satu pengalaman yang menyisakan kenangan yang mendalam ketika seorang anggota Komunitas kami, sebut saja Bunga yang beragama Khatolik meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Dr. Sardjito Yogyakarta  Desember 2012.

Karena biasanya jika ada rekan waria meninggal maka yang paling sering berurusan adalah Dinas sosial, Polisi & rumah sakit. Hal ini seakanakan sudah menjadi segitiga solusi di sisi akhir perjalanan hidup kami sebagai Transpuan karena sistem didalam Negara kita belum dapat mengaplikasikan semangat dan cita-cita mulia Proklamasi, UUD 1945 juga UU 39 1999 tentang HAM juga Declaration of Human Right 1948 yang seharusnya menempatkan Transpuan sama dengan warga Negara lainnya tanpa perbedaan klaster.

Dalam hal ini karena teman saya Khatolik maka orang pertama yang saya hubungi adalah para suster karena terpikir oleh saya orang yang paling tahu tata cara pengurusan jenazah dan upacara pemakamannya adalah Biara atau Romo dan spontan saya menghubungi suster dan rombongan suster pun menyusul kami ke RS Sardjito, ruang Bangsal dahlia 3 kamar 10 yang terletak di lantai 3 tempat almarhum meninggal.

Para suster inilah yang kemudian mendoakan dan mengantarkan kepulangan almarhum Bunga pada detik-detik nafasnya yang terakhir. Tetapi entah kenapa waktu itu salah satu suster meminta kepada saya untuk menghubungi keluarga almarhum terlebih dahulu untuk memastikan. Pada akhirnya saya benar-benar menelepon dan terdengar jawaban dari keluarga diujung telepon agar jenazah segera di bawah ke rumah duka di Kecamatan Gedong Tengen Yogyakarta. Suasana  kemudian berubah menjadi tegang tatkala kami mengantarkan jenazah almarhum ke tempat kediamannya dimana seluruh keluarga almarhum yang menyambut kami ternyata beragama Islam. Mereka meminta pemakaman almarhum dilakukan secara Islam padahal setahu saya almarhum adalah seorang Khatolik dan sering beribadah di gereja dengan keyakinannya sehingga dimata saya almarhum adalah pemeluk Khatolik yang taat.

Para Suster menyikapi dengan sangat bijak bahwa urusan jenazah adalah urusan keluarga & kerabat yang masih hidup. Perkara mau dimakamkan secara Islam atau Khatolik tidak masalah karena amal ibadah almarhum sudah selesai sampai disini dan urusan selanjutnya adalah seremonial kita yang hidup dan akhirnya semua diserahkan kepada keluarga dan almarhum dimakamkan secara Islam. Para suster mengantarkan jenazah sampai di liang kubur dan berdoa dengan cara keyakinan mereka diatas pusara, kami pun berdoa dengan cara kami sebagai Muslim.

Saya benar-benar terharu dan menitikan air mata bahagia atas kebesaran jiwa para suster yang sangat berbeda dibanding sifat-sifat algojo yang mengatas namakankan Tuhan kemudian menghalalkan darah orang lain untuk dipancung jika diangggp tidak sesuai dengan akidah agama & keyakinannya.

 Sebelum pulang terlebih dahulu para suster pamit dan silaturahmi dengan keluarga amarhum dengan senyuman yang sangat tulus, setulus dedikasi dan pengabdiannya yang tanpa batas. I

Love you suster’, persaudaraan kita tak akan pernah lekang oleh waktu.

Leave a Reply