Kepemimpinan Perempuan dalam Kacamata Agama Buddha, Hindu, dan Islam

with Tidak ada komentar

Oleh Misni P

Setiap agama seharusnya tidak merendahkan kepemimpinan perempuan. Karena dalam agama-agama memimpin itu soal sifat & perilaku baik, tak peduli laki-laki maupun perempuan.

Hal tersebut mengemuka dalam Workshop Kepemimpinan Perempuan dalam Agama-agama yang diselenggarakan, Srikandi Lintas Iman (Srili), (13/11/2021) melalui Zoom Meeting. 

Workshop ini diselenggarakan oleh Srili karena menyadari sebagai komunitas perempuan lintas iman penting untuk berperan lebih dalam pemberdayaan perempuan. Merebut tafsir ajaran agama yang merendahkan perempuan, memulangkan kesejatian agama sebagai media meningkatkan harkat manusia, baik itu laki-laki maupun perempuan.

Salah satu narasumber dalam pelatihan tersebut, Bhikkuni Samodhanateri mengungkapkan, di agama Buddha ada sepuluh syarat menjadi pemimpin yang baik, yang disebut Dasa Raja Dhamma. Kesepuluh syarat tersebut adalah kedermawanan, kemoralan, pengorbanan, ketulusan hati, keramahan, kesederhanaan, tidak memiliki  niat jahat, tanpa kekerasan, kesabaran, dan tidak menimbulkan pertentangan.

“Ini berlaku bagi laki-laki maupun perempuan. Apabila posisi batin sudah sama, sudah terbebas dari loba, dosa, berbagai kebodohan batin, maka posisi perempuan dan laki-laki sama. Bisa menjadi pemimpin meski tugas masing-masing berbeda,” kata Bhikkuni Samodhanateri.

Agama dan budaya bisa berkelindan mempengaruhi sehingga muncul praktik yang jauh berbeda dengan esensi. Agama Hindu kerap juga dianggap tidak memberi ruang bagi umat perempuan.

“Mayoritas umat Hindu ada di Bali yang sangat kental dengan budayanya yang berdampingan dengan agama. Itu yang menjadi tantangan. Budaya dan perspektif agama sebetulnya sangat berbeda. Dalam budaya ada nilai patriarki yang masih kuat,” ungkap Ayu Putu Eka Novita, narasumber mewakili agama Hindu. 

Ada budaya yang menekan perempuan untuk melahirkan anak laki karena anak laki-laki adalah purusa (mewaris keluarga) yang akan memimpin banjar.

“Dalam budaya Bali, perempuan Bali dituntut menjadi figur pradana sempurna. Perempuan diakui keberadaannya ketika ia mampu menjadi seorang istri, ibu yang melahirkan anak laki-laki. Jika ia tidak bisa melakukan kedua hal ini, maka prestasi dan konstribusinya dalam keluarga dan sosial tidak akan mendapat tempat penghargaan yang pantas. Ada tiga kategori perempuan yang dianggap tidak sempurna di Bali, yakni perempuan yang tidak menikah, yang tidak punya keturunan. dan yang tidak memiliki keturunan laki-laki.”

Eka Novita juga menjelaskan bahwa kepemimpinan perempuan dalam perspektif Hindu bisa dirujuk dari Manawa Dharmasastra, salah satu kitab dianggap paling penting bagi masyarakat Hindu. Berikut kutipannya: “Di mana wanita dihormati, di sanalah dewa-dewa merasa senang. Di mana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apa pun yang akan berpahala.”

Agama Hindu menggambarkan kepemimpinan perempuan dalam kisah mitologi yang masih diceritakan hingga saat ini. Misal yang berkaitan Saraswati, Dewi Sri, dan Ibu Pertiwi. Kisah-kisah yang merupakan bentuk penghormatan terhadap perempuan. 

Dalam realitas masyarakat dan budaya Hindu Bali yang masih sarat patriarki, ada banyak orang yang melampaui batasannya. “Sebagai contoh, Dewa Agung Istri Kanya, ratu Kerajaan Klungkung yang melawan Belanda. Beliau diberi nama Dewa Agung Istri Kanya karena dia tidak menikah. Ini menandakan sejak dulu pertentangan adat memberikan aktualisasi. Kita harus punya ilmu dan peran yang positif sehingga memberi berkah ke lingkungan,”ucap Eka Novita.

Di kalangan muslim, tafsir mengenai kepemimpinan perempuan masih ada perdebatan. Biasanya berkaitan dengan situasi politik di Indonesia, tidak sekadar dari sisi keagamaan. Penggalan tentang hadist yang menyebutkan akan hancur sebuah negara bila dipimpin perempuan akan sering muncul menjelang suksesi pemilihan umum.

“Isunya tidak banyak berubah dari tahun 90-an, soal perempuan dalam tafsir Quran dan hadist,”ucap Hidayatut Thoyyibah, aktivis Fatayat NU dari Kulonprogo. Dia menjelaskan pada saat itu, isu perempuan dan agama sangat kuat. Pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh Islam progresif seperti Ashgar Ali Engineer, Fatima Mernissi dan lain-lain sangat mewarnai.

Hidayatut Thoyyibah yang juga bekerja di KPU berpendapat bahwa isu keterwakilan dan kepemimpinan perempuan menjadi yang sangat penting untuk dibahas, terutama karena secara universal perempuan punya hak suara suara tapi tidak merepresentasikan kepentingan perempuan karena keterwakilan yang minim.

“QS Annisa ayat 34 selain digunakan sebagai penolakan terhadap kepemimpinan perempuan, juga untuk melegitimasi peran gender. Kenapa menjadi pemimpin? Karena laki-laki memiliki kelebihan dalam penalaran, menafkahi, memperoleh ghanimah, waris lebih banyak, dan lain-lain. Sementara fitrah perempuan seperti melahirkan, menyusui menghalanginya untuk memimpin. Implikasi dari adanya pembagian peran berdasarkan gender ini melahirkan subordinasi.”

Ida, panggilan akrab Hidayatut Thoyyibah, mengemukakan bahwa penjelasan bahwa laki-laki lebih superior dalam ayat tersebut adalah tafsiran ulama atas pernyataan Allah yang bersifat umum dan bahkan samar. Sementara referensi para ulama tersebut dalam menafsirkan al-Qur’an dibatasi oleh pengalaman historisitas mereka, baik berupa tradisi kepercayaan, maupun fakta empiris.

“Ketika berhadapan dengan ajaran agama, kita harus merebut tafsir tersebut. Bahwa ada tawaran sudut pandang alternatif dalam melihat suatu peristiwa, fenomena, maupun teks.”

Dari sudut pandang ketiga agama tersebut, bisa disimpulkan bahwa kepemimpinan yang baik didasarkan pada sifat, nilai, dan karakter seseorang, terlepas dari jenis kelaminnya. Nilai-nilai seperti welas asih, kedermawanan, keberanian adalah nilai universal yang bisa dimiliki dan dikembangkan baik lelaki maupun perempuan.

Perempuan bisa dan mampu memimpin di mana saja, berperan dalam kehidupan masyarakat. Kepemimpinan perempuan nyatanya sangat esensial bagi kesejahteraan bangsa, bahkan dunia.

Leave a Reply