Oleh: Prima (JARIKROGO)
Masalah lahan atau lokasi adalah faktor kesulitan utama yang tengah dialami penghayat kepercayaan di Kulon Progo untuk mendirikan tempat ibadah atau lebih tepatnya mereka menyebutnya dengan istilah sanggar atau padepokan.
Selama ini pembangunan sanggar dan prasarananya diutamakan yang sudah memiliki lahan. Itupun anggaran yang diajukan langsung ke pemerintah pusat dalam hal ini Dinas Kebudayaan. Dari 18 paguyuban yang ada di Kabupaten Kulon Progo baru beberapa saja yang telah mempunyai sanggar/padepokan. Diantaranya Hak Sejati (Plumbon), Tulis Tanpo Papan Kasunyatan Jati Singgangsono (Seling), Anggayuh Panglereme Napsu (Kedungdowo), Ngesti Kasampurnan (Bojong) dan Imbal Wacono (Ngestiharjo).
Hal itu juga diakui oleh Sasmito Gati (46) selaku Ketua paguyuban penghayat kepercayaan Persatuan Eklasing Budi Murka (PEBM). “Selama ini perijinan untuk pendirian sanggar tidak masalah. Cuma bantuan lahan yang tidak ada. Pengajuan anggaran ke pusat (Dinas Kebudayaan) hanya untuk pembangunannya saja, itu untuk yang sudah mempunyai lahan. Jadi ya untuk kami (PEBM) tidak terlalu mengharap” ungkap Sasmito Gati.
Lebih lanjut Sasmito Gati mengungkapkan bahwa bagi penghayat kepercayaan keberadaan sanggar/padepokan ini sebagai sarana tempat berkumpul, sarasehan dan pembelajaran. Sementara untuk ibadah bisa dilakukan di mana saja asalkan tidak di dalam ruangan melainkan di tempat terbuka.
Sementara itu Daryono (63) Presidium Ke-2 Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Kulon Progo mengutarakan bahwa bagi penghayat kepercayaan yang utama adalah niat menjalankan ajarannya, sementara tempat tidak begitu penting. Selain itu menurut Daryono, sejauh ini pemerintah daerah sangat terbuka dalam memberikan fasilitas termasuk biaya. Hanya individu penghayat kepercayaan yang kurang serius dan kurang semangat dalam paguyuban. Lebih lanjut Daryono berharap agar kadang penghayat kepercayaan diharapkan bisa dan mampu mendalami ajaran dan diimplementasikan dengan tindakan sehari-hari.
Leave a Reply